Mungkin ini adalah cerpen yang paling menyedihkan. Dan diambil dari sebuah kisah nyata.
GOMMEN.
Apakah
kau pernah menyukai seseorang karena sahabatmu sendiri? Menyukainya karena
sahabatmu juga menyukai orang yang sama? Membuatmu sering bertemu dengannya.
Bahkan, karena sahabat mu yang satu itu juga menyukainya, membuatmu mengerti
hal-hal apa saja dalam dirinya.
Dulu
aku yang acuh, sekarang terlalu membuka pintunya untuk seseorang. Seseorang yang
kenyataannya orang itu tak pernah lewat didepan pintu.
Namaku,
Deeandra. Dan sahabatku, Poland. Aku dan Poland belum terlalu lama menjalin
hubungan persahabatan ini. Kami memulai persahabatan ini saat kami masuk ke
bangku SMP. Hubungan persahabatan kami bisa dibilang baik, atau mungkin sangat
baik. Tahap demi tahap kami lalui bersama. Saat kami masih lugu dibangku kelas
7, saat kami menduduki bangku kelas 8 yang saat itu kami sedang nakal-nakalnya.
Dan sekarang kami berada dalam satu jalan yang menembus segalanya, yaitu UN.
Poland
merupakan gadis yang di anugerahi wajah cantik, berkulit putih, bola matanya
berwarna coklat, selalu mengurai rambut panjangnya yang indah itu dan selalu diberinya
pita disamping poni, memiliki postur tubuh ideal, berbaik hati, ramah, dan
kepintarannya agak sedikit diatasku.
Sedangkan
aku? Aku hanya gadis SMP yang selalu mem-ponytail rambut ke belakang, bisa
dibilang jago bermain beberapa alat musik, memiliki rambut berwarna coklat,
memiliki postur badan 170cm, urak-urakan, tomboy, tapi tetap disiplin bila
disekolah.
Hari
ini, aku menyusuri lorong sekolah dengan semangat! Tak tahu kenapa, aku merasa sepertinya
akan ada sesuatu yang special hari ini. Dan saat berjalan menembus semua siswa
yang ada, tak sengaja aku bertemu Poland.
|
Apakah
kalian tahu? Yang ku benci saat aku memasuki ruangan kelas adalah bertemu
Fadli. Orang yang disukai sahabatku ini. Dan yang menarik adalah, Poland juga
sekelas denganku.
Otomatis?
kalian bisa mengerti kan apa maksud pembicaraanku tadi? Bagus kalau kalian
mengerti.
Jam
pelajaran kedua dimulai. Kali ini, yang kami hadapi adalah pelajaran Biologi.
Aku suka ini. Ini baru yang dinamakan belajar. Saat aku sedang asyik-asyiknya memperhatikan
apa yang disampaikan Mr. Robinson, tiba-tiba aku merasa ada yang menyolekku?
Dan benar adanya, si Poland menyolekku dengan tidak santai. Dan akupun merasa
risih.
|
Aku
tak peduli. Dan aku masih tak mengerti, mengapa Poland masih saja mengharapkan
orang itu. Sejak saat Poland menyolekku, aku tidak dapat berkonsentrasi penuh
saat memperhatikan pelajaran ini. Lalu tiba-tiba, aku melirikkan mataku ke arah
orang itu. Orang yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Fadli.
Dan
saat itu tanpa sengaja, mata kita saling bertemu. Bertemu dengan tatapan penuh
makna. Mungkin. Menurutku begitu. Ah sudahlah lupakan. Lalu, saat aku tersadar
bahwa aku terlalu lama menatapnya, aku membuang muka. Membuang sejauh-jauhnya.
Dan menganggap bahwa kalau aku tak pernah bertatapan dengannya. Sejak saat itu,
ada rasa yang berbeda didalam dada. Rasa yang ganjil.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, aku semakin bingung dengan perasaan ini. Perasaan
sayang sepertinya? Ah tak mungkin. Mustahil terjadi. Dan aku pun juga tak ingin
ada perasaan ini. Karena aku tahu, ada perempuan lain juga yang sedari dulu
mengaguminya, mengagumi dari jauh. Berharap terlalu lama, membuatnya tak mudah
putus asa. Poland. Bila mengingat nama itu, sepertinya aku takkan pernah
menyukai Fadli. Karena, bila Poland tahu, tamatlah riwayat persahabatan kami.
Dan hal itu takkan terjadi, karena aku tak mau kehilangan sahabatku yang paling
pengertian ini.
Hari-hari
dikelas, Poland selalu mengatakan kepadaku setiap jam pelajaran kalau dia
sedang dipandangi oleh orang yang ia sukai. Aku pun juga merasakan hal yang
sama. Namun, aku tak mungkin berbicara seperti itu didepannya. Tidak sopan.
Karena dia lebih dulu menyukainya. Kami berdua terus-terusan merasa bahwa
sepertinya kami sedang di pandangi oleh Fadli. Dan lama-kelamaan, aku merasa
risih dengan keadaan seperti ini.
Bel
istirahat berdering, tandanya jam makan siang. Aku berlari berhamburan seperti
siswa-siswi yang lain menuju kantin. Dan kali ini, tanpa Poland. Aku memang
sengaja menghindari Poland, karena setiap aku melihatnya aku selalu teringat
tentang Fadli. Semuanya. Dan itu menyakitkan.
Aku
duduk di bangku meja makan kantin paling pojok, sendiri merenungkan sesuatu. Saat
sedang mengambil satu suap sendok yang didalamnya ada satu buah bakso, tiba-tiba
aku mendengar ada seseorang yang berteriak dari arah pintu masuk kantin yang
jelas-jelas orang itu memanggil namaku dengan isakan tangis yang sepertinya
sudah tidak asing lagi bagiku. POLAND. Ada apa dengan dia? Mengapa dia
tiba-tiba menangis lagi? Ada apa?
|
Kali
ini, aku juga ikut menenggelamkan wajahku ke meja. Agar aku tak terlihat bila
aku sedih. Bila aku menangis. Bila aku meneteskan air mata kesedihan. Air mata
harapan. Air mata yang seharusnya tak ku teteskan. Sakit untuk kedua kalinya.
Sakit untuk kedepannya. Sakit bahwa ketika aku mengingat aku telah membukakan
pintu hati selebar mungkin untuknya namun dia tak melewati pintu itu.
Menginjakkan kakinya dijalan menuju pintu itu saja tak pernah.
Dan
tiba-tiba aku ingat sayap-sayap kata patah hati nomor 23, bahwa ; kamu itu ketidak mungkinan, yang selalu aku
semogakan. Kamu itu adalah orang yang meyakinkan setiap pijakan kakiku ketika
aku berjalan dan bertemu denganmu. Namun, rasanya mustahil bila aku
mendapatkanmu. Glek! Aku menelan ludah. Mengapa aku bisa sejauh ini
memikirkan tentang Fadli? Memikirkan seseorang yang juga sedang menjadi bahan
lamunan sahabatku yang satu itu. Mengapa harus dia? Mengapa harus dia yang
menjadi perebutan hati ini?
Setelah
jam makan siang, aku belajar untuk menghapus air mata itu. Agar terlihat tidak
terjadi apa-apa. Agar tak terlihat ada tsunami yang melanda mataku. Aku hanya
bisa diam, dan begitu juga Poland.
Gommen, Poland. Maaf, bila aku telah menyukainya. Menyukai orang yang sebelumnya
telah kau sayangi. Kau puji, kau elu-elukan. Maafkan aku, yang telah membiarkan
rasa ini tumbuh begitu cepatnya karena kejadian itu. Caci maki saja diriku,
bila itu bisa membuatmu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala,
sebelum kita berdua menyukainya.
Dan,
bukan maksudku. Bukan inginku untuk melukaimu Po. Membuatmu sedih. Sadarkah
kau, disini akupun terluka karena belum berhasil
melupakannya. Setelah kejadian itu, kita berdua sama-sama
terluka di kantin. Aku berfikir, dan aku berusaha mengerti, bahwa sepertinya
kau lebih pantas, Po untuk Fadli. Dibandingkan, aku yang tidak ada apa-apanya
bila disandingkan dengan mu, Poland seorang gadis manis.
Dan
sejak saat itu, aku belajar untuk merelakannya untukmu sahabatku. Sahabat
sejati yang tak ada tandingannya. Selalu mengerti aku, walau yang satu ini kau
takkan mengerti. Karena cerita ini, akan melukaimu lebih dari apapun.
Comments
Post a Comment