Ada Titik-Titik di Ujung Doa


Mitchy membiarkan kaca mobilnya terbuka tiga jari, membiarkan aroma aspal basah dan sisa embun pagi Bandung menyusup masuk. Dulu, ia selalu merasa Bandung adalah labirin yang sengaja diciptakan Tuhan agar ia terus tersesat dalam bayang-bayang Mahendra. Namun hari ini, kota ini terasa berbeda. Bandung tidak lagi terasa seperti museum luka, ia terasa seperti rumah yang baru saja dicat ulang. Bersih, tenang, dan lapang. 

Ia baru saja menyelesaikan sesi wall climbing siang tadi. Otot-otot lengannya sedikit berdenyut, namun denyut itu terasa jauh lebih jujur daripada rasa sakit di hatinya yang dulu sempat menetap secara permanen. Ia sudah tidak lagi mencari alasan untuk marah. Kemarahan yang biasanya meledak-ledak seperti api unggun yang disiram bensin, kini hanya tersisa abu dingin yang tertiup angin.

Mitchy menyetir dengan santai menuju Seroja Bake. Meskipun sempat ada drama menyenggol bumper mobil orang lain di persimpangan tadi, Mitchy tidak lagi menangis sesenggukan karena merasa "payah tanpa Mahendra". Ia justru tertawa kecil, membereskan urusan dengan sopan, lalu melanjutkan perjalanan. Ia menikmati kemandirian ini. Ia menikmati menjadi nahkoda atas kekacauannya sendiri.

Di radio, suara rendah Sal Priadi mengalun lembut. "Ada Titik-Titik di Ujung Doa."

Mitchy mendalami bait demi bait lagu tersebut. Selama berbulan-bulan, ia mencoba berperang dengan egonya. Ia selalu berpikir bahwa untuk sembuh, ia harus membenci Mahendra sedalam-dalamnya. Namun, lirik Sal Priadi seolah membelai kepalanya dengan lembut, membisikkan bahwa acceptance atau penerimaan tidak butuh teriakan.

Ada titik-titik di ujung doa-doa
Keselamatan penutup malam
Kuisi dengan namamu
Kucoba memaafkanmu selalu
Kalau disitu ada salahku
Maafkanku juga

Penerimaan adalah ketika kita bisa menyebut nama seseorang tanpa ada rasa pahit di ujung lidah. Penerimaan adalah ketika Mitchy menyadari bahwa Mahendra bukan lagi tokoh utama dalam hidupnya, melainkan hanya salah satu bab yang sudah ia baca habis. Ia tidak lagi butuh konfirmasi, tidak lagi butuh permintaan maaf. Ia hanya butuh berbisik dalam doanya, memberikan pengampunan secara cuma-cuma, karena hatinya terlalu berharga untuk terus menyimpan dendam.

***

Mitchy memarkirkan mobilnya di pelataran Seroja Bake, Jalan Ganesha. Tempat ini terasa seperti kanvas baru; lebih luas, lebih teduh, dan lebih berjarak dari hantu masa lalu. Ia masuk dengan langkah ringan, tidak lagi membawa beban berat di pundaknya.

"Pagi, Kak Mitchy! Baru kelihatan lagi, balik ke Bandung?" sapa seorang pemuda di balik meja kasir.

Mitchy tersenyum lebar. "Halo kak Kausar. Iya nih, pulang sebentar sebelum besok balik jaga lagi di rumah sakit."

Meskipun ini rumah baru, Mitchy sudah merasa akrab dengan staf di sini, terutama Kausar yang selalu tahu bagaimana cara menyambut pelanggan seperti keluarga.

"Mau pesanan yang biasa, Kak?" tanya Kausar sambil bersiap menekan layar mesin kasir.

Mitchy menggeleng pelan, sebuah gelengan yang terasa sangat membebaskan. "Enggak, Sar. Aku mau coba yang beda hari ini. Pappardelle Empal Gentong satu, sama Kopi Susu Nipah satu, ya." ucapnya dengan lugas.

Sambil menunggu pesanan datang, Mitchy mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Mengembalikan hobi membaca yang sempat terbengkalai adalah salah satu cara ia merebut kembali jati dirinya yang dulu sempat tergerus urusan hati. Di tengah riuh rendah suara pengunjung dan denting cangkir di Jalan Ganesha, ia tenggelam dalam barisan kata, sesekali menyesap udara Bandung yang terasa jauh lebih bersahabat pagi ini.

Tak lama, Kausar datang membawa nampan. "Selamat menikmati perjalanan barunya, Kak Mitchy," ucap Kausar dengan senyum penuh arti, seolah tahu bahwa pesanan kali ini adalah sebuah selebrasi kecil bagi pelanggannya itu.

Mitchy meletakkan pembatas buku, lalu beralih pada piring di depannya. Aroma rempah empal gentong yang gurih bertemu dengan tekstur pasta yang elegan. Pada kunyahan pertama, mata Mitchy sedikit membulat. Ia jatuh rasa seketika. Perpaduan rasa yang tak biasa itu meledak di mulutnya. Hangat, kaya, dan berani. Persis seperti apa yang ia butuhkan untuk merayakan keberaniannya mencoba hal-hal yang tidak lagi melibatkan Mahendra.

"Ternyata, rasa yang baru itu nggak semenakutkan itu, ya?" gumamnya dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Setiap suapan Pappardelle dan sesapan Kopi Susu Nipah-nya terasa seperti obat yang jauh lebih ampuh dari resep mana pun yang pernah ia tulis di rumah sakit. Ia menghabiskan makanannya dengan lahap, tanpa sisa, seolah sedang melahap habis semua keraguan yang pernah ada.

Perjalanan pulang menuju rumah terasa jauh lebih singkat dan menyenangkan. Ia tidak lagi memperhatikan jalanan dengan mata yang mencari-cari kenangan di tiap sudut trotoar. Sebaliknya, ia menikmati pemandian cahaya yang masuk melalui celah pepohonan di sepanjang jalan.

Ia menyetir dengan tenang, sesekali bersenandung kecil. Tidak ada lagi tangan yang gemetar, tidak ada lagi dada yang panas. Ia merasa utuh. Bandung telah memberikan restunya, dan Seroja Bake telah memberikan energi barunya.

Mitchy tahu, esok ia akan kembali ke rutinitas utamanya sebagai tenaga kesehatan. Ia akan kembali berhadapan dengan kegawatdaruratan dan wajah-wajah lelah pasien. Namun, kali ini ia pulang membawa cadangan bahagia yang cukup untuk dibagikan. Di penghujung tahun 2025 ini, Mitchy akhirnya menyadari bahwa kepulangannya ke Bandung bukan untuk mencari Mahendra yang hilang, tapi untuk menemukan Mitchy yang telah lama ia tinggalkan.

Ia sampai di depan rumahnya, mematikan mesin, dan mengembuskan napas panjang yang lega. "Siap untuk bab baru," bisiknya mantap sebelum turun dari mobil dengan senyum yang paling tulus yang pernah ia miliki sepanjang tahun ini.


Comments

Popular Posts