Satu Musim
Langit kamar Mitchy sudah berubah jingga, namun ia masih di posisi yang sama sejak dua jam lalu: menatap langit-langit plafon yang seolah punya pola monoton, sama seperti pikirannya. Mitchy selalu mengira bahwa menjadi orang yang mengucap kata "putus" akan memberinya kendali. Ia pikir, ia akan merasa lega karena akhirnya lepas dari jeratan konflik.
Ternyata ia salah besar.
Menjadi pihak yang memutuskan justru membuatnya merasa seperti seorang algojo. Setiap kali ia melihat notifikasi ponsel yang sepi dari nama Mahendra, rasa bersalah itu datang menghantam. Ia takut dinilai jahat oleh teman-temannya, ia cemas jika Mahendra sedang hancur di sana, dan yang paling menyiksa: ia terus bertanya-tanya, “Apakah aku baru saja membuang satu-satunya orang yang tulus mencintaiku?”
Mitchy memejamkan mata, dan seketika ingatan itu berputar tanpa izin. Ia ingat suatu malam saat ia jatuh sakit di kosannya. Jarak mereka ratusan kilometer, dipisahkan oleh tiket kereta yang tak selalu sanggup mereka beli.
"Mitch, jangan lupa makan ya. Aku sudah pesankan bubur lewat aplikasi, harusnya sebentar lagi sampai," suara Mahendra di telepon kala itu terdengar sangat cemas.
Mahendra bukan pria dengan dompet tebal yang bisa mengiriminya hadiah mewah. Namun, Mahendra adalah pria yang rela begadang menemaninya mengerjakan revisi tugas via video call hanya agar Mitchy tidak merasa sendirian, membantu Mitchy untuk menciptakan sebuah website hanya untuk melihat Mitchy tidak perlu repot-repot, meskipun Mahendra juga sedang kelimpungan dengan beban kerjanya sendiri. Ia adalah pria yang selalu mengirimkan pesan penyemangat setiap pagi tanpa absen.
"Kamu orang baik, Ndra..." bisik Mitchy pada bantalnya yang mulai lembap.
Hal-hal kecil itu sekarang terasa seperti sembilu. Mitchy merasa kejam karena telah mematahkan hati orang yang selalu berusaha merangkulnya meski dengan banyak keterbatasan yang ada.
Namun, tembok terbesar itu tetaplah Ibunya. Mitchy teringat bagaimana setiap kali nama Mahendra disebut, suasana rumah seketika mendingin. Ibunya menginginkan sosok yang mapan secara instan, seseorang yang "pasti". Mitchy lelah menjadi perisai di antara keduanya. Ia pernah berbisik pada dirinya sendiri, berharap Mahendra mengerti: "Menangkan hubungannya, bukan argumentasinya." Ia ingin Mahendra lebih dari sekadar bertahan, ia ingin pria itu mencari cara untuk merangkul Ibunya dengan kehangatan yang tak bisa ditolak. Tapi tuntutan itu terasa terlalu berat bagi mereka berdua yang sudah kehabisan napas menghadapi kenyataan.
***
Hari-hari Mitchy setelah itu menjadi blur. Ia sering kali duduk di depan laptop, mencoba fokus pada pekerjaan, namun kursor itu hanya berkedip tanpa satu kata pun yang tertulis. Pikirannya kabur. Ia membiarkan cucian menumpuk, mengabaikan pesan dari teman-temannya, dan membiarkan energi negatif itu meresap ke dalam pori-porinya.
Ia sedang tidak ingin sembuh. Ia membiarkan dirinya hancur, melebur bersama rasa bersalah yang ia ciptakan sendiri. Baginya, ini adalah hukuman karena telah mengakhiri sesuatu yang, meski sulit, pernah menjadi dunianya.
Hingga pada suatu sore yang terlalu sunyi, Mitchy tak tahan lagi. Pesan singkatnya pada Mahendra hanya berakhir pada centang abu-abu. Putus asa, ia memberanikan diri menghubungi Ibu Mahendra, satu-satunya jembatan yang tersisa.
"Mitchy? Apa kabar, Sayang? Ibu kangen. Kapan main ke rumah lagi? Menginap ya di sini kalau ada waktu, Ibu buatkan masakan kesukaanmu," suara Ibu Mahendra terdengar begitu hangat di seberang telepon, tanpa ada setetes pun nada penghakiman meski beliau tahu hubungan putranya telah kandas. Kebaikan itu justru membuat pertahanan Mitchy runtuh seketika. Ia menangis tanpa suara, menyadari betapa luasnya hati keluarga yang telah ia tinggalkan.
Tak lama setelah telepon itu berakhir, sebuah panggilan masuk. Nama itu muncul di layar: Mahendra.
Mitchy menekan tombol hijau dengan tangan gemetar. "Halo, Ndra..."
"Ada apa, Mitch?" tanya Mahendra. Suaranya datar, tenang, dan begitu terkontrol. Tidak ada amarah, tidak ada getaran rindu. Hanya kekosongan yang rapi.
Mitchy terisak pelan. "Ndra... aku cuma mau tanya. Selama empat bulan ini, apa ada yang masih mengganjal di antara kita? Apa aku masih punya utang padamu? Apa ada yang perlu aku selesaikan agar kamu tidak membenciku?"
"Tidak ada, Mitchy. Semuanya sudah lunas sejak hari kamu memilih pergi," jawab Mahendra pendek.
Mitchy menelan ludah yang terasa pahit. "Apa... apa kamu sudah punya pasangan baru?"
Ada jeda yang cukup lama. Mitchy bisa mendengar deru napas Mahendra yang teratur. "Sepertinya itu bukan lagi sesuatu yang harus kamu cari tahu. Aku sudah baik-baik saja dengan diriku sendiri."
Tangis Mitchy pecah namun ia mencoba menahan. Ketajaman nada Mahendra yang begitu tenang justru jauh lebih menyakitkan daripada jika pria itu memakinya dengan kata-kata kasar. Ketenangan itu adalah tanda bahwa Mahendra telah benar-benar berhenti berjuang.
"Kenapa kamu bisa setenang ini, Ndra? Kenapa kamu seolah nggak terganggu sama sekali, sementara aku di sini hancur?" bisik Mitchy di sela tangisnya.
"Karena aku sudah menerima bahwa kita memang tidak bisa dipaksa, Mitch," ujar Mahendra pelan, namun telak. "Mitchy, kamu juga harus belajar untuk ikhlas. Jangan lagi mencari-cari kesalahan di masa lalu untuk membenarkan rasa bersalahmu. Aku tidak marah, aku tidak benci. Aku hanya sudah melepaskanmu dengan utuh. Jadi, tolong lepaskan dirimu juga."
Telepon itu tertutup. Mitchy terduduk di lantai, membiarkan air matanya membasahi pipi. Ia menyadari satu hal yang paling menohok: Mahendra telah tumbuh menjadi sosok yang begitu hebat dalam mengelola lukanya.
***
Mitchy menarik napas panjang, membiarkan udara dingin malam itu memenuhi paru-parunya yang terasa sesak. Ponselnya sudah gelap, percakapannya dengan Mahendra telah usai, namun gema suara pria itu, yang begitu tenang dan pemaaf, masih berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak.
Ikhlas ternyata bukan sebuah garis finish yang bisa dicapai dalam satu lompatan besar. Ikhlas adalah sebuah perjalanan panjang yang melelahkan, dan bagi Mitchy, perjalanan itu baru saja dimulai.
Ia masih sedih. Ia masih merasa separuh jiwanya tertinggal di masa lalu, di antara ketikan chat yang penuh tawa dan janji-janji yang gagal ditepati. Namun, Mitchy sadar bahwa ia tidak bisa terus-menerus membiarkan dirinya tenggelam dalam palung rasa bersalah yang ia ciptakan sendiri. Mahendra sudah sampai di daratan, sudah kering dan tenang, sementara Mitchy masih terjerembap di tengah samudera penyesalan.
Perlahan, Mitchy mulai menggerakkan lengannya. Ia mulai mencoba berenang. Meski gerakannya masih berat, meski air matanya sesekali masih bercampur dengan air laut yang asin, ia memilih untuk bergerak menuju tepian.
Ia tidak sendirian di samudera itu. Di sisi kanan dan kirinya, ada sahabat-sahabat yang tidak pernah lelah melemparkan pelampung. Ada tangan-tangan yang selalu siap menariknya saat ia merasa akan tenggelam lagi. Mereka tidak memaksanya untuk segera pulih, mereka hanya ada di sana, memastikan Mitchy tahu bahwa daratan masih ada dan ia pasti akan sampai ke sana.
Mitchy menatap langit malam dari jendela kamarnya. Dalam diam, ia menyelipkan sebuah doa yang paling tulus, doa yang tidak lagi meminta Mahendra untuk kembali, melainkan doa yang meminta kebahagiaan untuk pria itu.
"Semoga kamu selalu bahagia, Ndra. Aku akan terus mencoba untuk bisa memaafkanmu, memaafkan diriku, memaafkan kita dulu. Semoga keluarga dan rumahmu selalu hangat. Terima kasih sudah mengajarkanku bahwa mencintai dengan hebat terkadang berarti melepaskan dengan hebat pula."
Mitchy memejamkan mata. Untuk pertama kalinya dalam empat bulan, ia tidak lagi merasa seperti seorang kriminal. Ia hanyalah seorang manusia yang sedang belajar untuk memaafkan dirinya sendiri. Esok hari, ia akan bangun dan mencoba lagi. Berenang sedikit lebih dekat ke tepian, hingga suatu saat nanti, kakinya akan kembali menyentuh pasir dan ia benar-benar bisa bernapas dengan lega.
Sebab pada akhirnya, melepaskan bukan berarti melupakan, melainkan membiarkan kenangan itu menetap di tempatnya tanpa harus merusak masa depan.
Comments
Post a Comment