Kita Adalah Sisa - Sisa Keikhlasan Yang Tak Dapat di Ikhlaskan

Bandung selalu punya cara untuk membuat luka terasa lebih puitis daripada aslinya. Bagi Mitchy, kota ini bukan lagi tentang aroma kopi di Jalan Dago atau sejuknya udara kota itu, melainkan tentang jejak-jejak Mahendra yang masih tertinggal di setiap sudut trotoar.
Semua bermula dari satu geseran di layar ponsel. Dating apps. Mitchy masih ingat betapa Mahendra tampak seperti jawaban dari semua doa-doanya yang belum selesai. Lima tahun mereka saling mengenal, tiga tahun mereka mencoba menyatukan dua kepala yang ternyata punya isi berbeda.
“Ndra, aku bukan bermaksud mendikte. Aku cuma pengen kamu ingat kalau aku nggak suka bagian dada setiap pesan ayam goreng. Sesederhana itu,” ucap Mitchy suatu sore di sebuah resto di daerah Dipatiukur, dua tahun lalu.
Mahendra hanya menatap layar ponselnya, lalu mengangguk tanpa melihat. “Iya, Mitch. Maaf, aku lupa.”
Lupa. Kata itu adalah hantu yang paling sering bertamu di hubungan mereka. Mahendra lupa hari jadi, Mahendra lupa Mitchy tidak suka bau asap rokok yang terlalu pekat, Mahendra lupa Mitchy alergi seafood, dan Mahendra, puncaknya, lupa bahwa ia sudah memiliki Mitchy saat ia memutuskan untuk membiarkan perempuan lain masuk ke dalam pesan singkatnya.
Mitchy memaafkan. Karena bagi Mitchy, mencintai Mahendra adalah seperti menjadi seorang guru yang tak pernah dibayar. Ia harus mengajari Mahendra bagaimana cara menjadi pasangan, menjadi pundak yang bisa diandalkan, bahkan bagaimana cara menjadi manusia yang punya empati.
Sampai akhirnya, Mitchy menyerah. Empat bulan lalu, waktu mereka akhirnya habis.
***
Di suatu malam yang lembap, Mitchy berdiri di tengah sebuah tempat perbelanjaan di daerah pusat kota. Suasananya abu-abu. Di sana, ia melihat sosok perempuan paruh baya yang entah kenapa terasa begitu akrab.
“Mahendra sudah mau lamaran, Mitch,” bisik ibu itu pelan. “Calonnya protektif sekali. Mahendra nggak boleh kemana-mana tanpa dijaga calon mertua dan neneknya. Dia dijaga seperti tahanan.”
Mitchy merasa sesak, tapi langkah kakinya justru membawanya ke bagian belakang toko. Di sana, Mahendra berdiri. Wajahnya tidak lagi seangkuh biasanya. Mahendra tampak layu. Dan yang membuat jantung Mitchy mencelos.
Mahendra masih memakai gelang tali hitam yang dulu mereka beli bersama. Gelang yang seharusnya sudah dibuang.
“Ndra?” panggil Mitchy lirih.
Mahendra menoleh. Matanya berkaca-kaca. Ia membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar.
Tiba-tiba, seorang perempuan muda dan ibunya datang merangsek masuk. Suasananya berubah tegang, seperti sebuah penggerebekan di film-film melankolis. Perempuan itu menatap Mitchy dengan penuh selidik, seolah Mitchy adalah pencuri di tanah miliknya sendiri.
“Ada apa ini?” tanya ibu dari perempuan itu ketus kepada putri dan calon menantunya, sambil menarik lengan Mahendra menjauh.
Perempuan itu menoleh ke ibunya, lalu melirik Mitchy dengan tatapan kosong. “Katanya ada yang harus diomongin di antara mereka, Mah. Tapi Mahendra diem aja dari tadi,”
Mitchy tertegun dan Mahendra tampak membeku. Seperti banyak sekali kalimat yang pada akhirnya tercekat di kerongkongannya.
Sebelum Mitchy sempat membela diri, sebelum ia sempat berkata, “Saya dan Mahendra sudah tidak ada hubungan apa-apa,” dunia di sekelilingnya pecah menjadi kepingan cahaya putih.
***
Mitchy terbangun dari mimpi buruknya dengan napas tersengal. Kamar mungilnya masih terasa dingin, dan jam di dinding menunjukkan pukul empat pagi.
Dada Mitchy terasa panas. Ia teringat bagaimana Mahendra memutus seluruh akun sosial medianya dari Mitchy dua minggu lalu. Bagaimana Mahendra menyembunyikan semua ceritanya, seolah-olah Mitchy adalah monster yang mengerikan. Padahal, Mitchy hanya ingin keadilan atas lima tahun yang ia habiskan hanya untuk membentuk Mahendra.
Mitchy memeluk lututnya di atas kasur. Ia menyadari sesuatu. Mimpi itu bukan tentang Mahendra yang merindukannya. Mimpi itu adalah proyeksi dari rasa lelahnya. Tentang kata-kata yang selama ini ia telan sendiri agar hubungan mereka tetap terlihat baik-baik saja.
“Ternyata benar, Ndra,” bisik Mitchy pada kegelapan kamar. “Bukan cuma kamu yang kata-katanya tercegat di tenggorokan. Aku pun sama. Aku punya banyak amarah yang nggak sempat aku muntahkan, karena aku terlalu sibuk mengajari kamu cara menjadi pria yang baik.”
Mitchy menangis. Malam itu, di bawah langit Bandung yang tak pernah benar-benar tidur, ia membiarkan air matanya menjadi penutup dari pelajaran terakhir yang ia berikan untuk Mahendra.
Pelajaran tentang cara melepaskan, tanpa perlu penjelasan.

Comments
Post a Comment