Perlahan Menghilang




 
 Prolog.


****


            “Gue suka sama lo,” laki-laki berseragam yang kini berdiri didepan perempuan itu berkata dengan raut wajahnya yang serius. Teman-teman mereka bersorak, suasana kelasnya semakin riuh. Laki-laki itu berdeham, membasahi tenggorokannya, sekaligus menambah suasana menjadi semakin sunyi dan menegangkan. Ekspresi laki-laki itu pun terlihat sedikit gugup, tapi sedetik kemudian ekspresi itu berganti menjadi senyum lembutnya yang khas.

            Degup jantung Kena semakin kencang, jemarinya mulai meremas ujung kemeja osisnya. Ia bingung harus berekspresi seperti apa. Inginnya memenjamkan mata saja namun kenyataan justru sebaliknya. Keringat dingin mulai muncul dari telapak tangannya. Kena hanya dapat menunjukkan wajahnya berubah pucat pasi pada khalayak ramai.

            Tiba-tiba saja, laki-laki itu berjalan selangkah lebih dekat. Kena hanya dapat terdiam, mengatup mulutnya rapat-rapat, dan pandangannya masih terfokus kepada orang yang kini 5cm berdiri tepat dihadapannya, laki-laki itu.

            Laki-lakinya mulai angkat bicara kembali, semakin membuat dada Kena terasa sesak. Riuh teman-temannya semakin menjadi, mereka begitu antusias. Mata Kena masih menatap ke depan, laki-laki itu mulai berlutut. Kena mulai menelan ludahnya sendiri, ini adalah moment tercanggung dan tergugup yang pernah terjadi padanya.

            Bersama bunga matahari yang berada pada genggaman laki-laki itu,

“Mau nggak, jadi pacar gue?”

Perlahan tetesan air mata Kena mulai berhamburan jatuh. Merintik perlahan pada pipinya yang menggembung merah.

Laki-laki itu berlutut sambil tersenyum manis juga hangat, tepat dihadapan teman kelas Kena. Ya bukan di hadapan Kena, melainkan di hadapan teman kelasnya sendiri. Dea.

Kenapa harus dia? Kenapa harus temen kelas gue? Kenapa bukan perempuan lain yang nggak gue kenal? Kena menggerutu dalam hati.

Dengan mengambil langkah mundur, Kena memutuskan pergi meninggalkan mereka. Ia sudah tidak memperdulikan lagi sekitar. Yang kini ingin ia lakukan adalah pergi sejauh mungkin dari kejadian yang menyesakkan. Kena ingin menangis, meluapkan seluruh emosinya yang sedaritadi berusaha ia tahan. Kena ingin meredam rasa sakit-patah-juga hilang, sendirian, tanpa harus membaginya dengan orang lain.

Kena menutup pintu gudang rapat-rapat, berusaha semaksimal mungkin agar tidak ada celah bagi orang lain untuk bisa menemukannya disini. Tanpa bisa dicegah, air matanya jatuh dari pelupuknya. Kena terus menggerutu dalam batinnya. 

“Farah?” suara itu samar-samar terdengar, sumbernya masih berada pada lingkup ruangan yang sama.

Farah? Kenapa ada orang yang masih memanggil gue dengan nama itu? Batin Kena, yang masih terasa sesak.

Laki-laki itu memanggil Kena dengan nada lembut. Seakan laki-laki itu mengerti, bahwa Kena sedang tersedu menangis dibalik pintu. 

Tak berselang lama, laki-laki itu berjalan menuju pintu gudang dan perlahan membukanya. Celah pintu yang terbuka menyeruakkan cahaya yang terpancar dari area luar gudang. Membentuk siluet pada diri laki-laki itu. Wajahnya tidak terlihat sama sekali, walau Kena sudah mendongakkan kepala mungilnya dan berusaha mengenali laki-laki itu, tetap saja wajahnya masih tertutupi cahaya yang sedang berusaha masuk ke dalam gudang. 

****

            Dringgg….

            Sepersekian setelah alarmnya berbunyi, Kena perlahan mengambil dan menghembuskan nafas. Sambil menyibakkan selimut iron man-nya, Kena menggerakkan tubuhnya dan memutuskan duduk dipinggir kasur. Ia mulai memijit-mijit keningnya yang terasa pening dengan pelan-pelan.

            “Uhm, mimpi?” Kena menghembus nafas lega. Kemudian, lampu kamarnya Ia matikan. Menyisakan cahaya temaran dari jendela balkon kamarnya. Lalu memutuskan untuk berjalan mendekati balkon, mengamati dengan lamat pemandangan diluar. Yang Kena tangkap masih sama dengan malam-malam sebelumnya. Suara khas jangkrik dan kodok, juga cahaya-cahaya lampu jalan yang masih juga kokoh menerangi pinggiran jalan. 

            Yang hanya terasa berbeda pada malam ini, dada Kena terasa lebih sesak dari sebelumnya. Merasa gatal pada area bola matanya, tanpa sadar Kena menaruh tangannya untuk sekadar mengucek mata. Tapi, Ia merasakan sesuatu yang semakin membuatnya terasa aneh.

            Pipinya basah.

            Air mata?


[To be continued]

Comments

Popular Posts