Haidar, tolong jangan seperti itu.
[Sekuel
kelima cerita bersambung "Sepucuk cerita untuk Haidar."
Enjoy,
bakwanlovers]
Gedung
aula sebesar itu kini berhasil menjebak Adhie didalam kerumunan penonton
lainnya. Sambil membawa bucket bunga matahari yang sedaritadi digenggaminya,
Adhie masih terus melemparkan pandangannya, memicingkan mata, mencari-cari
barangkali batang hidung Elsya dapat terlihat olehnya. Agenda Adhie hari ini
ialah, menonton penampilan pacar barunya. Tanpa ditemani oleh teman-temannya,
Adhie berusaha untuk memberanikan diri bertemu dengan Elsya, Adhie berusaha
menghilangkan rasa canggung diantara mereka berdua.
…..
Elastic hearts, you burn me up inside.
You take me way too high just to shun me far away from the light.
…..
Penampilan
Elsya yang baru saja selesai, sangat memukau bagi Adhie sendiri. Sesaat setelah
Elsya berjalan pergi meninggalkan panggung, Adhie lagi-lagi tidak dapat
menangkap Elsya berjalan menuju arah mana. Dan lagi-lagi, Adhie harus mencari
keberadaan Elsya.
“Elsya manasih,
daritadi kenapa gue ngga liat dia dah,” baru saja beberapa detik berlalu Adhie
mendengus kesal mengapa ia belum juga menemukan Elsya, Adhie merasakan ada
seseorang yang menepuk pundaknya.
“Adhie?”
“Lho, lo temennya Elsya kan?”
Perempuan yang tidak
asing bagi Adhie karena selalu saja menempel dengan Elsya, terlihat berbeda
penampilan. Gaya berpakaiannya yang pada hari biasanya menggunakan long skirt hari ini justru ia
menggunakan celana kain yang cukup membentuk lekuk kakinya. Fai, datang di
event ini bukan untuk menemui Elsya apalagi Adhie. Fai datang, untuk bisa
bertemu dengan laki-laki berparas manis itu, Haidar.
“Iya gue Fai, lah lo dateng ke event ini juga?”
“Ya, liat Elsya dimana?”
“Gue juga nggatau lah,
gue aja lagi nyari seseorang.”
“Yaudah, gue duluan
nyari Elsya dulu,” putus Adhie dengan mengangkat tangan kanannya ke udara kearah
Fai.
“Oke, semoga ketemu ya
Elsyanya!”
****
“Saya mau dibawa ke
mana sih sebenarnya?” keluh Elsya, tangan kanannya yang sedaritadi digenggam
erat oleh Haidar kini mulai dilepaskan. Haidar merubah posisinya dan saat ini
Haidar berdiri persis tepat didepan Elsya. Mereka berdua kini berada di rooftop
SMA Negeri 02 BaktiMulya. Tempat tertinggi yang ada dilingkungan SMA itu
sendiri. Angin semilir berganti,
“Apa?”
“Hah?” kini Elsya
dibuat bingung lagi dan lagi oleh Haidar. Sepertinya baru beberapa menit yang
lalu, Haidar terasa hangat bagi Elsya. Seperti Haidar yang dulu ia kenal.
Sambil menggaruk-garuk
tengkuknya, sejenak Haidar mulai angkat bicara,
“Gue cuma pura-pura,”
Elsya masih bingung.
“Hah? Maksud kamu
gimana sih?”
“Ya tadi gue cuma
pura-pura nembak lo,”
Deg!
Elsya mulai menundukkan
arah pandangannya, sesekali memejamkan mata agar air mata yang sudah mulai
diproduksi oleh hormonnya tidak tumpah.
Perlahan, Elsya mulai
mengumpulkan beberapa keberaniannya untuk berbicara lagi kepada Haidar.
“Gue tau kok,” jawaban
itu, sesekali dibarengi oleh hembusan nafasnya yang terdengar berat.
“Bagus, kalo gitu,” Haidar
kembali menunjukkan ekspresi dinginnya. Angin yang kencang menghembus mereka
berdua ditambah dengan aura dingin yang terus-menerus Haidar tunjukkan, semakin
membuat Elsya membeku ditempat ia berdiri.
“Lo hafal kan, jalan
pulang?”
Elsya diam seribu
bahasa.
Haidar menunggu jawaban
Elsya, tapi tak juga didapatkan. Akhirnya, dengan perlahan Haidar melepaskan
jaket hitam yang sedaritadi dipakainya, kemudian Haidar berjalan kesamping
Elsya yang masih mematung.
“Jangan sampe sakit,”
Haidar memakaikan jaket kesayangannya itu, pada punggung Elsya. Dengan refleks,
Elsya menengok kearah wajah Haidar. Membuat jarak antara wajah mereka hanya
tinggal beberapa senti saja.
Elsya berusaha untuk
mengambil beberapa langkah agar jarak sedekat tadi, dapat ia hindari. Agar mereka
tidak canggung, dan agar mereka tidak dapat melihat raut wajah kesedihannya
masing-masing.
“Gue balik dulu,” sahut
Haidar.
“Dar,”
Sejenak, Haidar
menghentikan langkah kakinya yang sudah setengah jalan menjauhi Elsya yang
berdiri ditengah rooftop itu.
“Diamku adalah kecewa
yang paling dalam. Seharusnya kamu mengerti.” Elsya berusaha mengucapkan
kalimat itu dengan tegar. Entah Haidar mendengarkan ucapannya atau tidak,
Haidar tetap melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rooftop.
Kini Elsya hanya
seorang diri, duduk dipinggiran rooftop, sambil menekuk kedua lututnya, lalu
menundukkan kepalanya. Elsya menangis sejadi-jadinya, kecewa sepenuh-penuhnya,
berusaha memaafkan diri sendiri yang telah berharap sebodoh-bodohnya.
“Haidar, tolong jangan
seperti itu,” gumam Elsya rendah. Elsya tidak menyangka, serendipity-nya itu
hilang dalam sekejap saja.
****
Dringgg….
“Haidar,
pulang lo sekarang!”
“Haidar!
Lo denger gue ngga sih? Gue bilang, balik!”
Smartphone yang awalnya
Haidar letakkan didekat daun telinganya, dengan cepat ia jauhi dan ia taruh
dalam genggaman tangannya. Haidar mengepalkan jari-jemarinya, dadanya berdegup
lebih cepat, urat-urat pada wajahnya terlihat jelas. Ini merupakan ekspresi
yang Haidar keluarkan ketika ia sedang emosi.
Kakaknya yang pertama,
tidak terlalu suka jika Haidar terlalu sering nge band. Apalagi, kalau kakaknya tahu jika Haidar mengikuti
kompetisi band semacam hariini yang Haidar lakukan.
“Brisik!”
Prank!
Haidar berhasil membuat
smartphonenya melayang diudara dan mendarat dengan mulus di aspal jalanan. Meninggalkan
garis-garis bekas pada layarnya, sama halnya seperti keadaan Haidar saat ini. Retak.
****
Haidar mengemudikan
sepeda motornya dengan kelajuan yang cukup cepat. Berhasil membawa dirinya
menjauh dari keramaian orang-orang. Setelah pengumuman pemenang lomba band hari
ini, Haidar langsung menancap gasnya sedalam mungkin. Saat diumumkan, juara pertama,
diraih oleh Reality Club. Disusul juara kedua band Haidar sendiri, dan juara
keempat diraih oleh Tiga Pagi. Saat penyerahan penghargaan serta hadiah oleh
para juri, dari beberapa band yang dipredikatkan sebagai juara yang sudah
diumukan, menunjuk salah satu anggota bandnya sebagai wakil untuk naik keatas
panggung.
Dari Swaralangit diwakili
oleh Haidar, Reality Club oleh Angga, Tiga Pagi oleh Ratna, dan beberapa perwakilan
anggota band lainnya perlahan berjalan menuju panggung perlombaan.
Penyerahan penghargaan
serta hadiah pun dimulai, perwakilan band tersebut berjejer dengan rapih sesuai
dengan predikat juara yang didapatkan. Namun, itu tidak berlangsung lama. Ratna
berusaha menyelip barisan yang diisi oleh juara ke 3 untuk bisa lebih dekat
dengan juara ke 2.
“Misi… permisi ya….”
ucapan Ratna barusan, mengundang sinisme terhadapnya. Bagaimana tidak, acara
sambutan dan ucapan selamat yang sedang dilontarkan oleh para juri juga belum
selesai, Ratna justru berdesak-desakan mencari posisi berdiri yang ia inginkan
sendiri.
Ratna sudah mendapatkan
posisi yang diinginkan, kemudian pelan berbisik persis dekat dengan wajah
Haidar, “Dar….”
“Aku kangen,”
Bisikan itu tidak
Haidar hiraukan. Pandangan Haidar masih menatap fokus lurus kedepan, dan
sesekali tersenyum tipis atas reaksi pembawaan pembawa acara perlombaan
tersebut yang diakuinya, cukup lucu.
Tidak menyerah begitu
saja, Ratna masih terus mendesak Haidar dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih
menghantui pikirannya, “Haidar… tadi itu pacar baru kamu?”
“Ya, dia pacar baru
gue.”
Akhirnya Haidar dapat
bernafas lega. Akhirnya acara tersebut resmi ditutup. Para perwakilan band
sudah diperbolehkan untuk turun kepanggung. Tanpa ba-bi-bu, Haidar langsung
menyerahkan penghargaan dan hadiah itu kepada Sean. Ia langsung berlari menuju
parkiran sepeda motor, dan sesegera mungkin pergi dari teman ini yang membuatnya
sungguh pengap sedaritadi.
“Sialan!”
“Kenapa gue harus
ketemu Ratna?!”
“Bangsat!”
Haidar masih terus
menggerutu atas kejadian yang ia alami hari ini. Ini semua benar-benar diluar
prediksinya. Bahkan, kehadiran Ratna itu sungguh menyebalkan. Memang, dulu
Haidar sayang padanya. Namun, Haidar sudah dibuat kecewa olehnya. Kepalang
benci, yang dulu pernah saling cinta juga percuma. Ratna sudah merusak
kepercayaan yang Haidar berikan.
Dibawah lampu jalanan
yang temaram, Haidar masih terduduk lemas di Halte bus pinggiran kota bersama awan
serta langit yang mendung. Bulan malam ini terlihat redup, tidak cukup membuat
wajah Haidar sedikit lebih bersinar. Kemeja sudah lusuh, rambutnya berantakan
karena saat mengendarai sepeda motornya ia lupa tidak menggunakan helm biru
khasnya. Kacau sudah hari ini.
“Lo Haidar, kan?”
Okay, mood yang
dimiliki oleh Haidar baru saja telah hancur. Tolong, jangan buat mood Haidar
semakin hancur. Haidar masih menundukkan wajahnya, menutupi wajah kusutnya. Enggan
menengadah, karena ia juga sedang enggan berinteraksi dengan orang lain.
Namun Fai tidak memaksa
Haidar untuk menatap wajahnya. Fai berusaha memahami Haidar, yang mungkin sedang kelelahan. Fai berjalan
mendekati Haidar, lalu duduk dibangku halte bersama Haidar,
“Ini gue, Fai. Keliatannya
lo sedikit kecapean hari ini,” Haidar tidak menjawab.
Fai mengulas senyum tipis,
mala mini Haidar memang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Fai memahami itu,
lalu ia meninggalkan beberapa cemilan serta minuman yang memang sengaja ia beli
untuk Haidar. Fai meletakkannya disamping bangku yang sedang mereka duduki.
“Dimakan dan diminum
ya, sorry gue ganggu. Omong-omong, penampilan lo bagus hari ini. Gue suka.”
Dug!
Sejenak, Haidar
langsung menengadahkan wajahnya menghadap Fai. Fai tersenyum tipis disana,
sangat-sangat terlihat jelas. Disoroti lampu temaram pinggiran jalan, serta
rembulan yang juga tidak terlalu terang, senyum itu terlihat lebih baik
dibandingkan senyuman yang ia temui saat dilokasi perlombaan tadi siang.
Belum sempat Haidar
mengucapkan terimakasih atas pemberian Fai, Fai langsung mengambil langkah
pergi ketepian jalan lalu berusaha menghentikan taksi yang kini akan ia
tumpangi,
“Take care, Haidar!”
sambil melambaikan tangan kanannya diudara, Fai memasuki taksi tersebut.
Fai kini sudah pergi. Meninggalkan
bingkisan kecil untuknya, juga meninggalkan bekas senyum tipis itu untuknya.
“Thank’s,” tanpa sadar,
senyum manis miliknya itu, terukir kembali.
Langit tak lagi terlalu
mendung, bintang kembali berani memunculkan sosoknya diatas langit sana. Haidar
mulai membuka diri kembali. Ia tidak boleh terpuruk hanya karena bertemu dengan
Ratna hingga harus mengorbankan pertemanannya dengan Elsya.
‘Jika
kamu habiskan waktumu untuk dia yang terus membuatmu kecewa, kamu akan
kehilangan kesempatan untuk bertemu dia yang mampu membuatmu tertawa.”
Haidar langsung terngiang perkataan Bundanya. Perkataan yang selalu ia ingat
ketika ia sedang dikecewakan.
“Sya, maafin saya.”
-To
Be Continued.
Comments
Post a Comment