Sepucuk cerita untuk Haidar.











[Sekuel pertama cerita bersambung "Sepucuk cerita untuk Haidar."
 Enjoy, bakwanlovers]


              **** 
Pagi kali ini cukup cerah, di hari Jum’at bersih semua kelas diwajibkan untuk membersihkan lingkup kelasnya dengan diawasi Wali Kelas masing-masing.
                “Woy! Kerja kali yang piket. Kelas kotor kaya gini mana ada yang betah,” bentak Ketua Kelas yang sok menjadi bijak hanya karena disampingnya ada Pak Hadi, sebagai Wali Kelasnya. Dengan santai dan agak sedikit jijik karena sikap Mikail yang sok peduli dengan kelas, Zuli mencoba untuk nimbrung dalam pembicaraan sepihak itu,
                “Yeh, lo juga betah-betah aja kan, orang lo juga yang suka buang sampah diloker, wle”
                “Brisik ya lo, yang kerja tangan bukan mulut”
                Elsya yang sedaritadi berusaha untuk menutup mulut karena malas beradu argument dengan Mikail si Ketua Kelas menyebalkan, akhirnya ia menyeruakkan suara hatinya yang sudah dipendam,
                “Lo tuh yang kerja anjir, nyuruh-nyuruh doang. Lo cowo angkatin tuh bangku biar gampang anak cewe nyapu bersih, tatain sekalian meja bangkunya. Dikira cewe kelas pembantu pribadi lo? Dih gedeg gua mah. Pak Hadi… nih Mikail ngga kerja,” seru Elsya dengan nada sedikit meledak-ledak dibarengi senyuman bahagia karena telah meluapkan emosinya.
                “Daripada kamu nyuruh-nyuruh teman kamu saja, lebih baik kamu ikut bantu, Mikail. Atau nilai kimia kamu, Bapak kasih nilai dibawah KKM, bagaimana?” tuntut Pak Hadi.
                Dengan nada terbata-bata, Mikail mau tak mau mengiyakan ucapan Pak Hadi. Sambil memasang raut wajah penuh dendam, Mikail mendekat dan mulai berbisik pelan kepada Elsya,
                “Awas ya lo, gua akan secepatnya balas dendam.”
                Elsya hanya menyambutnya dengan senyuman tipis dan pelan pula ia menjawab ancaman Mikail, “Silahkan, Ketua Kelas alay.”

                ****
                Bel istirahat sudah berbunyi, menandakan seluruh siswa-siswi SMA Negeri Atmawijaya diperbolehkan berkeliaran diseluruh area sekolah selama 20 menit. Sembari mengeluarkan earphone dan iPod dari sakunya, Elsya sedikit mengernyitkan dahi. Merasa Jum’at kali ini, sedikit lebih terik dibandingkan hari-hari Jum’at minggu sebelumnya.
Ruang kelas Elsya letaknya cukup strategis jika dilihat dari sudut pandang anak-anak sekolah yang menginginkan pemandangan lapangan yang luas dan menyejukkan. Elsya tak sengaja melempar pandangannya kearah lapangan basket sekolah, dan ia menemukan…. Haidar disana.
                “Haidar Alfarrelza,” gumamnya sesekali senyum tipis mengembang.
                “Mingkem kali tuh mulut, ngga usah cengo gitu,” senggol Zuli dengan nada meledeknya. Sambil mengusap-usap tengkuknya, perlahan muncul warna merah merona pada pipinya.
                Zuli memang pandai dalam melihat situasi dan kondisi orang-orang sekitarnya. Lihai mencari celah sehingga dia mampu mengerti perasaan beberapa orang tanpa perlu orang tersebut membicarakan kepada Zuli terlebih dulu, “Udah kali ngeliatinnya, noh, udah jauh Haidarnya juga. Jadi ke kantin ngga?”
                “Iya jadi… ngga sabaran lo mah,” decak kesal Elsya, ia masih belum puas memandangi Haidar yang ada dikerumunan anak laki-laki yang sedang bercanda sana-sini.
                Sadar atau tidak, jaraknya dengan Haidar kian memanjang, kian menjauh, kian menjarang. Haidar Elfarrelza, sosok dingin yang Elsya temukan saat laki-laki itu duduk dibangku kelas 10. Posisinya sebagai kakak kelas, dan juga tak tahu menahu tentang Haidar, Elsya memilih untuk bungkam dan tidak memperdulikan orang-orang yang tidak seharusnya ia perdulikan. Namun, waktu terus berjalan. Elsya tak mampu menahan rasa penasarannya kepada Haidar, adik kelasnya satu ini. Ada sesuatu yang menarik, hingga Elsya dibuat penasaran.

                 ****
Sabtu, Jam 07:15 WIB

                Alarm berdering selagi mata Haidar masih tertutup dengan rapat. Namun, deringan itu tetap belum ampuh untuk membangunkan Haidar dari tidurnya selain dengan cara,
                “Kaaaak Haidarrrr, bangun kakkk. Tidur muluu,” teriak kencang Nabil persis ditelinga sang Kakak yang masih tertidur pulas ditempatnya.
                Dengan sekuat tenaga, Nabil membangunkan kakaknya yang super kalem itu.
                “IYAAAAAAAAAAAA,” jawab Haidar sambil menarik kembali selimutnya yang sejak tadi ditarik-tarik oleh adiknya, Nabil.
                “Alkhamdulillah, Kakak akhirnya sadar,” sahut Nabil sambil tertawa terbahak-bahak. Anak kecil yang kini telah duduk dibangku sekolah dasar ini, hobinya selain bermain juga suka menjahili Kakaknya.
                “Kak bangun dong, main dulu sebelum berangkat sekolah,”
                “Nanti kalo Kak Haidar telat gara-gara nemenin kamu, Kak Haidar bisa digantung sama guru sekolah ditiang bendera, kamu mau?”
                “Mau, ehehe,”
                “Bandel dasar. Udah ah, Kakak mau mandi dulu, mau wangi ngga kaya Nabil,” celetuk Haidar dengan nada meledeknya sesekali menjulurkan lidahnya.

               20 Menit kemudian…

                Setelah mengenakan seragam sekolah kebanggaannya, Haidar dengan pelan menyisir rambutnya agar terlihat rajin dan enak untuk dilihat, “Udah rapih kali ya gue, udahan ah cabut ke Sekolah,” celetuk Haidar sambil berjalan menyusuri anak tangga menuju ruang makan untuk sarapan.
                “Pagi Bu,” sapa Haidar dengan ramah.
                “Pagi, sarapan dulu kak sebelum berangkat sekolah,” sahut Ibu Nana sembari menyiapkan sarapan untuk ketiga anaknya dan Ayah.
                Haidar merupakan anak ke-2 dari 4 bersaudara. Kakaknya yang pertama, telah beranjak dewasa dan duduk dibangku perkuliahan, sedangkan adik perempuannya yang ke-3, Nasya duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, dan yang terakhir, Nabil duduk dibangku Sekolah Dasar kelas 1. Keluarga yang hangat, keluarga yang sangat menyayanginya, itulah yang dirasakan Haidar sejak ia kecil hingga sekarang. Bersyukur, Ia memiliki masa-masa hidup bersama keluarga yang indah.
                “Kak, Kak Haidar….” Panggilnya pelan dengan nada merayu.
                “Hm, kenapa Bil? Pasti ada maunya, ”
                “Hehe… nanti, pulang sekolah main badminton bareng Nabil yaa?”
                Perlahan, Haidar menaruh sendok dan garpunya. Kemudian, ia berakting seperti orang sedang berfikir keras dengan matanya yang menghadap kearah atas,
“Tuh kan… pasti ada maunya. Berani bayar berapa, Bil?”
“Nabil berani bayar lima ratus!”
“Ribu??????”
“Ribu itu apa kak?”
“……” Haidar lupa jika ia sedang berbicara dengan anak berumur 8 Tahun. Tanpa Haidar sadar, Ibu, Ayah, dan Nasya kini sedang terbahak-bahak bahkan Nasya hampir saja tersedak makanan selepas memerhatikan percakapannya dengan Nabil.
Nabil mulai melekukkan bibirnya kebawah memasang wajah kesal, dan mulai menggerutu, “Ah Kakak mah, ngga asik. Pokoknya Nabil mau marah sama Kakak!”
“Iya bawel, nanti Kakak temenin main,” jawab Haidar dengan senyuman yang jahil.
                Jam telah menunjukkan angka 07:30 WIB, yang menjadi pertanda bahwa Haidar harus sesegera mungkin mengendarai motornya menuju Sekolah. Deruman motor yang kini ia tumpangi terdengar jelas, dengan tenang Haidar mulai berangkat menuju tempatnya mendapatkan ilmu, juga mulai berangkat menuju… tempat yang sedikit memberikan ia jarak kepada ‘Teman Lama’nya yang kini entah masih akan menjadi teman sesungguhnya, atau tidak.

                ****
                Ciiitt…
                “Huh, selamet.. selamet… untung aja gue ngga jatoh pas ngerem. Kalo jatoh, tengsin gue, diparkiran diliatin sama anak-anak satu sekolah,” sambil mengelus-elus dada, degup jantungnya yang sempat cepat tadi, kini telah mereda. Untung saja Elsya tidak menjatuhkan diri dan motornya saat berusaha untuk memarkirkan sepeda motor miliknya.
                Deg!
                “Eh?” lekat-lekat Elsya memastikan bahwa yang kini sedang ia pandang persis didepannya bukan bunga tidurnya. Kemudian, pelan Elsya menghela nafasnya untuk menetralkan kembali degup jantungnya yang tadi sempat tenang kini menjadi tidak teratur lagi. Dia… sialan, Haidar. Kamu berhasil membuat Elsya kembali menjadi tidak karuhan.
                “Gila gila… diabetes gue Ya Allah,” Elsya memutuskan untuk buru-buru berjalan menuju kelasnya. Elsya memilih untuk tidak menatap wajah Haidar lamat-lamat, karena itu hanya membuat Elsya semakin salah tingkah. Haidar tampan, tapi bukan itu yang membuat jantung Elsya berdegup kencang dibuatnya. Tatapan itu… tatapan dingin itu, yang membuat nyali Elsya ciut setiap mereka berdua dipertemukan oleh semesta.
                Dringgggg…
                Bel pulang sekolah berdering di jam ke 13:45 WIB, namun hanya dihari Sabtu saja kerumunan anak-anak SMA Negeri Atmawijaya masih berada dalam lingkup sekolah. Dikarenakan, hari ini dilaksanakan ekstrakulikuler yang paling membuat Elsya berdecak malas, Pramuka.
                “Kenapa pramukaan mulu sih, udah kelas 12 juga,” desus Elsya kesal dan melampiaskannya kepada Zuli.
                “Yang sabar, gua juga kalo bisa cabut mah udah cabut gua daritadi,” tambah Zuli.
                “Ehiya, Sya,”
                “Sya…”
                “ELSYAAAAAAAAAAAA,” Zuli berteriak persis didepan wajah Elsya yang sedang berekspresi datar.
                Elsya yang sedang dimabuk lamunan, kini tersadar dan menyahut teriakan ketidakjelasan yang dikeluarkan oleh Zuli, “Ha? Apaan si, suka nggajelas lo mah,”
                “Gua dapet nomor handphone Haidar,”
                “Hah? Apaan?
                “Gue dapet nomor handphone H a i d a r,” eja Zuli dengan nada bangga.
                Elsya mulai mencoba menaruh perhatian penuh kepada ucapan Zuli, “Gimana-gimana, gue nggangerti deh,” Elsya masih tidak percaya.
                “Gue dapet nomor handphone cowok yang lo suka liatin itu,”
                “Hah?” Elsa semakin dibuat heran.
                “Ah, tau dah. Sekali lagi lo tanya gua, dapet doorprize dah lo lama-lama. Tulalit dasar,” cetus Zuli kepada perempuang  dengan ekspresi kebingungan yang kini sedang ada dihadapannya.
                “Mau dong Zul, tapi… gue malu sama dia,” ceplos Elsya.
                “Loh, kenapa lo harus malu? Lagian dia anaknya baik, menurut gua sah-sah aja kalo lo mau menjalin hubungan pertemanan sama dia,” kini Zuli yang dibuat bingung oleh Elsya.
                “Gue selama ini merhatiin dia juga bukan artian gue mau PDKT in dia Zul, tapi entah dari sisi gue yang mana, gue merasa tertarik sama setiap bentuk secara fisik maupun pola pikirnya dia. Gue…. Akan merasa sangat beruntung kalo gue bisa punya temen kaya dia. Tapi, tatapan dia njir Zul, gue angkat tangan. Gue ngeri tiap kali ketemu dia dan ngeliat tatapan matanya. Sadis men,” ucap Elsya dengan sejujur-jujurnya kepada Zuli. Tanggapan Zuli, bukan lagi melontarkan kalimat, namun ia hanya mengangguk-anggukkan kepala seperti mengisyaratkan ia tahu apa yang Elsya inginkan, dan apa yang Elsya takutkan.
                Elsya ingin berteman dengan Haidar, tapi Elsya takut jatuh dan cinta dengan Haidar.
                ****
                Semenjak Elsya meminta nomor handphone Haidar, ia mulai memberanikan diri untuk mengirimkan setiap pesan yang berisikan nada sebuah pertanyaan maupun pernyataan yang sangat-amat Elsya anggap itu absurd. Entah menggunakan cara apa lagi, agar Elsya dapat selangkah lebih dekat dengan Haidar. Dan Haidar pun, setiap harinya ketika membaca pesan-pesan yang diterima dari Elsya selalu dibayangi oleh tanya, “apakah ada hal yang aneh dalam diri gue, sampai-sampai perempuan ini mendekati gue dengan sebegini perjuangannya?”
                Beberapa minggu telah berjalan, Haidar masih mendapatkan pesan-pesan yang ia terima dari Elsya. Perempuan yang tak asing baginya, tapi ia juga tidak kenal dengan perempuan itu.
Elsya : Haidar, saya boleh kan berbicara sesuatu
Haidar : Iya Kak, boleh
Elsya : Jangan panggil saya Kakak, panggil nama saja
Kak Elsya is typing…
 Haidar : Okey, Elsya?
Elsya : Besok, boleh kita ngobrol langsung sebentar?
Haidar : Langsung, kak?
Haidar : Eh maksudnya, Sya?
Elsya : Iya besok, bisa?
Haidar : Insya Allah bisa kak, tapi emangnya ada keperluan darurat apa ya sampe-sampe harus banget langsung ketemu?
Elsya : Kamu bakal tau jawabannya kalo kamu dateng besok
Kak Elsya is offline.
                Masih dengan wajah kebingungannya, Haidar berusaha untuk menerima kejadian yang baru saja terjadi, dimana ia diajak oleh Kakak kelas yang sebelumnya tidak pernah berbincang maupun menyapa dan masih belum menahu apa alasan dibalik Kakak kelas itu mengajaknya bertemu.
                Dringg!
                Notifikasi handphone Haidar pun, kembali berbunyi. Kini, yang ia dapatkan bukanlah notifikasi pesan dari Kakak kelasnya itu. Tapi, dari ‘teman lama’ Haidar yang tiba-tiba dengan seenak jidatnya muncul kembali dalam kehidupannya.
0821xxxxxxxx : Hai Haidar, kamu apa kabar?
Haidar  : Ini siapa?
0821xxxxxxxx : Ini aku, Kejora.
Haidar : Ada urusan apa lagi?
0821xxxxxxxx : Aku pengen minta maaf sama kamu. Semenjak kita berpisah setelah kelulusan SMP kemarin, aku banyak-dan lebih banyak menyakiti kamu dengan setiap sikap dan perlakuan aku ke kamu.
Haidar : Gunanya minta maaf hari ini untuk kesalahan yang sudah terlanjur lampau, apa?
0821xxxxxxxx : Aku pengen menebusnya. Aku selalu dihantui rasa bersalah, si Pemain drum favorit aku.
Haidar : Apa kamu ngga malu, masih manggil saya dengan sebutan seperti itu?
0821xxxxxxxx : Tolong maafin aku, Haidar. Aku tahu aku salah, aku sadar, semua yang aku lakuin dulu. Itu bikin kamu sakit hati. Bikin kamu kecewa, ketika aku justru milih untuk menyudahi segalanya dengan kamu, sedangkan kamu masih ingin mempertahankan dengan sebaik-baik mungkin. Aku…. Menyesal
Haidar : Bukannya penyesalan emang slalu dateng diakhir?
0821xxxxxxxx : Kita perbaiki lagi sama-sama seperti dulu ya?
Haidar : Boleh
0821xxxxxxxx : Serius?
Haidar : Iya
0821xxxxxxxx : Besok temui aku di Café yang biasa dulu kita manggung disana ya?
Haidar : Harus besok?
0821xxxxxxxx : Lebih cepat kan lebih baik? Aku menunggu kamu besok, Haidar.
                Mati!              
                Jadilah Haidar bingung setengah mati. Bagaimana bisa, besok dirinya akan bertemu dengan 2 sosok perempuan yang meminta membicarakan suatu hal dengan selisih jam yang sedikit? Haidar tidak mungkin membelah diri seperti amoeba, tidak mungkin juga ia akan terbagi menjadi 1000 bayangan seperti Naruto. Haidar harus memutuskan untuk membatalkan satu satu janji yang ia iyakan sendiri. Dan Haidar masih bingung dibuatnya, siapa yang besok akan didatanginya dan membicarakan bersama suatu hal yang dimaksud itu.
                ****
Keesokan Harinya 

                Deruman motor kesayangan yang membawanya kemari, semakin terdengar jelas. Perempuan disudut Café itu yang sedaritadi tidak sabar menunggu kedatangan Haidar, tersenyum lebar sembari menghela nafas untuk menguatkan tekad, maksud dan tujuannya ia mengajak Haidar untuk mengobrol dengannya.
                Bunyi lonceng yang tergantung diatas pintu masuk Café, terdengar jelas ditelinga Perempuan itu. Sekilas, Haidar menyapa dengan hangat agar terkesan tidak canggung.
                “Hai,”
                “Hai Haidar, duduk dulu,” Laki-laki yang kini dihadapan perempuan itu masih sama. Masih memiliki senyum yang lembut, namun tajam pada tiap tatapannya.
                “Kamu mau pesen apa?” Tanya perempuan itu dengan lembut.
                “Nggausah Ra, aku sudah kenyang. Langsung ke point nya aja, ada apa?” tolak Haidar dengan ramah.
                “Sebelumnya… aku mau makasih sama kamu, karena kamu udah mau repot-repot dateng ke sini. Yang aku pengen omongin sebenernya…” Kejora mulai dilanda rasa groginya. Cepat-cepat ia mengambil nafas lalu menghembuskannya pelan.
                “Ya? Aku masih nunggu lanjutan ucapan kamu, Ra.”
                “Sebenernya… aku mau minta maaf sama kamu atas semua perlakuan ku yang udah ngecewain kamu selama ini. Aku mau memperbaiki semuanya dari awal,” Sekejap, Kejora tertegun. Ekspresi yang ditunjukkan Haidar sangat-sangat datar. Diluar dari ekspektasi Kejora.
                “Mungkin bisa,” ucap Haidar singkat.
                “Maksud kamu…? Aku bisa mermperbaiki semuanya dari awal lagi?” lontar Kejora pelan, memastikan bahwa apa yang ia tangkap sama dengan apa yang dimaksud oleh perkataan Haidar.
                “Iya, mungkin bisa. Tapi bukan dengan aku. Coba belajarlah mencintai orang yang seperti kamu mencintai aku dari yang dulu-dulu hingga sekarang. Berlatihlah untuk memulai dari awal dengan laki-laki yang cintanya juga sama seperti besarnya cinta kamu kepada aku.”
                Sekejap, Café yang sejak awal memiliki suara gaduh ramai, senyap langsung menyerbunya. Kini hening tercipta diantara mereka berdua. Kini Kejora, hanya bisa diam dan pasrah. Air matanya mulai perlahan jatuh pada pipi lembutnya.
                “Apa… kita udah benar-benar ngga bisa bersama lagi?” Kejora masih ingin memastikan bahwa Haidar masih akan terus dan tetap memberikannya kesempatan.
                “Bukannya ngga bisa lagi, tapi semuanya memang sudah berhenti. Kisah kita sudah tutup buku, tidak ada lagi lembar yang bisa kita tuliskan untuk cerita yang baru. Kita sudah berhenti sejak lama, bukan?” Haidar berusaha mengucapkannya dengan nada setegar yang ia bisa. Meskipun, sesak itu kian menjadi-jadi, hampir saja meluluh lantahkan ketangguhannya selama ini. Haidar, masih ingin bersama. Tapi ia tahu, sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa diciptakan diantara mereka, masa-masa mereka sudah kadaluwarsa.
                Sambil mengelus puncak kepala Kejora dengan pelan, Haidar meminta izin untuk berpamitan pulang,
                “Aku pulang dulu, jaga diri kamu baik-baik. Jadi perempuan, jangan emosian lagi. Perempuan baik, pasti akan dapet laki-laki yang baik juga. Aku sudah ikhlas, ketika kamu mengucapkan kata pisah saat itu. Semoga, kamu juga bisa belajar seperti itu ya. Take care.”
                Kejora menundukkan kepala, dengan pelan ia merespon ucapan terakhir Haidar itu dengan anggukan. Semuanya sudah berakhir. Kini ia dan Haidar sudah tidak ada apa-apa lagi. Semua rindu yang Kejora kira akan terbayar dengan kebahagiaan, justru terbayar oleh lara. Sudahlah pupus, harapan Kejora untuk kembali bersama Haidar.
                Haidar mengencangkan pengaman helm  yang ada. Dengan pasti, Haidar membawa kendaraannya melaju bersama dibawah senja yang kian berubah menjadi malam. Dalam perjalanannya, Haidar tersadar, bahwa kini ia sudah tidak lagi bisa dan tidak akan pernah lagi bisa mencintai dan menyayangi Kejora, melebihi sebagai teman. Mereka sudah tidak akan menyatu dan bersatu kembali. Karena, Haidar justru baru menyadari, jika kehadiran perempuan absurd yang selalu mengiriminya pesan itu, mampu menyingkirkan kesepian yang melandanya, mampu menerangi tiap ruang yang telah menjadi gelap karena telah ditinggal oleh penghuninya terdahulu.
                Elsya mampu menjadi penerang dalam gelapnya hati Haidar.
                Dan Haidar, baru menyadari…. Kalau ia telah melewatkan kesempatan untuk berdua mengobrol dengan Elsya hari ini.
                “Sialan, gagal nggunain kesempatan kan gue, shit.”gerutu Haidar. Mengingat bahwa ia secara tidak sengaja telah mengecewakan Elsya, ia langsung menambahkan kecepatan motor agar cepat-cepat sampai rumah dan beristirahat.
                ****
                Café DeDuo, Jam 17:00 WIB
                Hari ini, Haidar tidak memenuhi janjinya. Elsya telah diberi harapan palsu oleh adik kelasnya sendiri.
                “Bener kan dugaan gue, dia ngga segampang ini buat diajak ketemuan sama orang baru yang modelnya kaya gue. Seharusnya gue ngga melakukan hal sebodoh ini dengan mengorbankan harga diri dan martabat untuk ngajak ketemuan.” Elsya sudah menduga-duga jika Haidar memang tidak akan datang dipertemuan pertama kali mereka.
                Entah Elsya mendapat ilham darimana, ia kemudian mengambil secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasnya. Kemudian, berniat untuk menuliskan segala kejujuran, maksud dan tujuan ia mengajak Haidar untuk bertemu hari ini. Seharusnya semua ini tidak perlu sedrama ini, hanya untuk melontarkan kata-kata yang seharusnya dilontarkan secara langsung jika Haidar datang hari ini. Tapi semesta, berkehendak lain.
                ****
                Tok! Tok! Tok!
                “Assalamua’laikum Buuuu, Haidar pulang,” sapa hangat Haidar dengan wajah kelelahannya.
                “Wa’alaikumussalam, Kak, baru pulang?” tanya Ibu sambil membantu anak keduanye membereskan barang-barang bawaannya yang dibawanya tadi.
                “Iya Bu, capek banget.”
                “Tadi ada perempuan, manis banget, sopan, nitipin surat buat kamu. Katanya perempuan itu ngga mau ngasih tau namanya ke Ibu. Biar kamu saja yang nebak-nebak sendiri, katanya. Coba deh, Kakak liat. Siapa tau itu surat terror gimana….” Celetuk Ibu dengan nada was-was.
                “Hush Ibu, ngawur. Haidar bawa ya bu suratnya ke kamar Haidar, Haidar mau bersih-bersih dulu,” sembari membawa barang-barangnya, Haidar menuju kamar tidur untuk membersihkan badan dan merapikan segala barang bawaannya.
                15 menit kemudian…
                Sambil merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, Haidar mengambil sepucuk surat beramplop warna hijau yang entah dari siapa. Perlahan Haidar membuka isi surat itu dan membacanya dengan seksama,

Dear Haidar Alfarrelza,

                Untuk pertama  kalinya, kesan yang kamu tinggalkan sama saya cukup kurang baik ya. Kamu tidak menepati janji kamu untuk datang bertemu dan mengobrol dengan saya. But, it’s okay, I’ll accept it. Saya tahu, mungkin kamu belum atau bahkan tidak akan pernah siap bertemu dan bertukar sapa dengan saya yang kamu anggap hanyalah seorang perempuan aneh dan juga kakak kelas yang sok kenal dan sok dekat dengan kamu. Tapi sungguh, semua yang saya lakukan selama ini, tidak ada niatan apapun untuk mengusik atau bahkan mengganggu hidup kamu. Surat ini menyampaikan apa yang sebenarnya yang ingin saya sampaikan dipertemuan pertama kali kita sore tadi.
                Saya tertarik dengan kamu, Haidar. Tapi tunggu, bukan bermaksud saya tertarik dalam konteks saya-suka-kamu atau saya-cinta-kamu. Tapi lebih dari itu. Saya tertarik akan hal-hal yang ada memutari kamu. Senyuman hangat kamu, ketidak pedulian kamu yang memang seharusnya tidak diperdulikan, suara lembut kamu, dan tatapan kamu. Ya, walaupun saya juga memiliki rasa traumatik dengan tatapan kamu, karena kamu pernah menatap saya dengan setajam itu, tapi lama-lama trauma berubah menjadi pesona. Saya benci untuk jatuh cinta dengan kamu. Jika saya bisa memilih untuk tidak cinta kamu, saya akan pilih opsi itu.
                Sudah lama saya lamat-lamat memerhatikan kamu sejak semesta bermain-main dengan kita. Untungnya, saat pertama jumpa, saya belum diberi rasa ketertarikan dengan kamu, jadi saya tidak harus merasakan betapa canggungnya saya ketika tidak sengaja memiliki jarak sepersekian lebih dekat dengan kamu.
                Saya bukan pengagum mu, apalagi pengagum rahasiamu. Sudah jelas, saya terang-terangan seperti ini. Saya juga bukan penggemarmu, apalagi pengejar cintamu. Saya hanyalah perempuan, yang ingin berkenalan dengan cara baik-baik dengan kamu. Ingin menjalin pertemanan yang baik, ingin menjadi teman yang baik. Entah kita akan menjadi teman hidup atau teman redup, hanya waktu yang mampu mengungkap semua itu. Saya tidak mengharapkan balasan apapun dari kamu, asal yang kamu tahu, saya hanya minta izin untuk menjadi temanmu.
                Saya tidak baik, dan saya bukan juga teman yang baik. Kalau memang kamu masih butuh waktu untuk berfikir, saya akan selalu sedia memberi waktu senggang sedikit. Pesan saya, tetap menjadi Haidar yang pertama kali saya jumpa. Kesedihan, kepatah hatian yang pernah kamu alami dulu, jangan jadikan rasa trauma dalam jiwa. Mendapatkan kebahagiaan, hanya perlu sedikit keikhlasan dalam melepaskan segala sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Mengungkit yang lalu, hanya membuka rasa pilu. Jadilah sosok yanglebih baik dari hari kemarin. Berteman dengan lawan jenis, bukan suatu hal yang buruk. Bukan juga menjadi pertanda bahwa akan ada benih-benih cinta diantaranya, namun justru memudahkan kamu dalam memahami tiap-tiap individu yang berbeda agar kamu bisa lebih siap menghadapi kehidupan yang sesungguhnya diluar sana.
                Maafkan saya jika saya terlalu banyak menulis pesan ini, kalau boleh jujur, tangan saya juga pegal menuliskan semua kosakata yang berjejer diatas. Kuncinya ada pada kamu, andai saja pertemuan kita tidak digagalkan secara sepihak, ya.
                Terimakasih untuk membacanya, semoga hari kamu menyenangkan.


Your candidate new friend,

Elsya Shamira Mailika



                Sejenak, Haidar tertegun dengan rentetan tulisan yang ada di surat itu. Dengan berwajah datar, yang Haidar keluarkan, bukanlah ekspresi yang sebenarnya ingin ia keluarkan. Haidar entah harus akan senang atau marah atau bahkan sedih, Haidar tidak tahu. Haidar pun juga tidak tahu, apakah ia masih akan bisa merasakan nyamannya dicintai atau mencintai, Haidar hanya butuh waktu untuk menjawabnya. Yang hanya Haidar tahu saat ini, bahwa ia mulai membuka lembaran baru pada buku baru yang ia beri nama, Elsya  Shamira Mailika.  


-To Be Continued-




Comments

Popular Posts