Sepucuk cerita untuk Haidar.
Enjoy, bakwanlovers]
****
Pagi kali ini
cukup cerah, di hari Jum’at bersih semua kelas diwajibkan untuk membersihkan
lingkup kelasnya dengan diawasi Wali Kelas masing-masing.
“Woy!
Kerja kali yang piket. Kelas kotor kaya gini mana ada yang betah,” bentak Ketua
Kelas yang sok menjadi bijak hanya karena disampingnya ada Pak Hadi, sebagai
Wali Kelasnya. Dengan santai dan agak sedikit jijik karena sikap Mikail yang
sok peduli dengan kelas, Zuli mencoba untuk nimbrung dalam pembicaraan sepihak
itu,
“Yeh,
lo juga betah-betah aja kan, orang lo juga yang suka buang sampah diloker, wle”
“Brisik
ya lo, yang kerja tangan bukan mulut”
Elsya
yang sedaritadi berusaha untuk menutup mulut karena malas beradu argument
dengan Mikail si Ketua Kelas menyebalkan, akhirnya ia menyeruakkan suara hatinya
yang sudah dipendam,
“Lo
tuh yang kerja anjir, nyuruh-nyuruh doang. Lo cowo angkatin tuh bangku biar
gampang anak cewe nyapu bersih, tatain sekalian meja bangkunya. Dikira cewe
kelas pembantu pribadi lo? Dih gedeg gua mah. Pak Hadi… nih Mikail ngga kerja,”
seru Elsya dengan nada sedikit meledak-ledak dibarengi senyuman bahagia karena
telah meluapkan emosinya.
“Daripada
kamu nyuruh-nyuruh teman kamu saja, lebih baik kamu ikut bantu, Mikail. Atau
nilai kimia kamu, Bapak kasih nilai dibawah KKM, bagaimana?” tuntut Pak Hadi.
Dengan
nada terbata-bata, Mikail mau tak mau mengiyakan ucapan Pak Hadi. Sambil
memasang raut wajah penuh dendam, Mikail mendekat dan mulai berbisik pelan
kepada Elsya,
“Awas
ya lo, gua akan secepatnya balas dendam.”
Elsya
hanya menyambutnya dengan senyuman tipis dan pelan pula ia menjawab ancaman
Mikail, “Silahkan, Ketua Kelas alay.”
****
Bel
istirahat sudah berbunyi, menandakan seluruh siswa-siswi SMA Negeri Atmawijaya
diperbolehkan berkeliaran diseluruh area sekolah selama 20 menit. Sembari
mengeluarkan earphone dan iPod dari sakunya, Elsya sedikit mengernyitkan dahi.
Merasa Jum’at kali ini, sedikit lebih terik dibandingkan hari-hari Jum’at
minggu sebelumnya.
Ruang kelas Elsya
letaknya cukup strategis jika dilihat dari sudut pandang anak-anak sekolah yang
menginginkan pemandangan lapangan yang luas dan menyejukkan. Elsya tak sengaja melempar
pandangannya kearah lapangan basket sekolah, dan ia menemukan…. Haidar disana.
“Haidar
Alfarrelza,” gumamnya sesekali senyum tipis mengembang.
“Mingkem
kali tuh mulut, ngga usah cengo gitu,” senggol Zuli dengan nada meledeknya. Sambil
mengusap-usap tengkuknya, perlahan muncul warna merah merona pada pipinya.
Zuli
memang pandai dalam melihat situasi dan kondisi orang-orang sekitarnya. Lihai mencari
celah sehingga dia mampu mengerti perasaan beberapa orang tanpa perlu orang
tersebut membicarakan kepada Zuli terlebih dulu, “Udah kali ngeliatinnya, noh,
udah jauh Haidarnya juga. Jadi ke kantin ngga?”
“Iya
jadi… ngga sabaran lo mah,” decak kesal Elsya, ia masih belum puas memandangi
Haidar yang ada dikerumunan anak laki-laki yang sedang bercanda sana-sini.
Sadar
atau tidak, jaraknya dengan Haidar kian memanjang, kian menjauh, kian
menjarang. Haidar Elfarrelza, sosok dingin yang Elsya temukan saat laki-laki
itu duduk dibangku kelas 10. Posisinya sebagai kakak kelas, dan juga tak tahu
menahu tentang Haidar, Elsya memilih untuk bungkam dan tidak memperdulikan
orang-orang yang tidak seharusnya ia perdulikan. Namun, waktu terus berjalan.
Elsya tak mampu menahan rasa penasarannya kepada Haidar, adik kelasnya satu ini.
Ada sesuatu yang menarik, hingga Elsya dibuat penasaran.
****
Sabtu, Jam 07:15 WIB
Alarm
berdering selagi mata Haidar masih tertutup dengan rapat. Namun, deringan itu
tetap belum ampuh untuk membangunkan Haidar dari tidurnya selain dengan cara,
“Kaaaak
Haidarrrr, bangun kakkk. Tidur muluu,” teriak kencang Nabil persis ditelinga
sang Kakak yang masih tertidur pulas ditempatnya.
Dengan
sekuat tenaga, Nabil membangunkan kakaknya yang super kalem itu.
“IYAAAAAAAAAAAA,”
jawab Haidar sambil menarik kembali selimutnya yang sejak tadi ditarik-tarik
oleh adiknya, Nabil.
“Alkhamdulillah,
Kakak akhirnya sadar,” sahut Nabil sambil tertawa terbahak-bahak. Anak kecil
yang kini telah duduk dibangku sekolah dasar ini, hobinya selain bermain juga
suka menjahili Kakaknya.
“Kak
bangun dong, main dulu sebelum berangkat sekolah,”
“Nanti
kalo Kak Haidar telat gara-gara nemenin kamu, Kak Haidar bisa digantung sama
guru sekolah ditiang bendera, kamu mau?”
“Mau,
ehehe,”
“Bandel
dasar. Udah ah, Kakak mau mandi dulu, mau wangi ngga kaya Nabil,” celetuk
Haidar dengan nada meledeknya sesekali menjulurkan lidahnya.
20 Menit kemudian…
Setelah
mengenakan seragam sekolah kebanggaannya, Haidar dengan pelan menyisir
rambutnya agar terlihat rajin dan enak untuk dilihat, “Udah rapih kali ya gue,
udahan ah cabut ke Sekolah,” celetuk Haidar sambil berjalan menyusuri anak
tangga menuju ruang makan untuk sarapan.
“Pagi
Bu,” sapa Haidar dengan ramah.
“Pagi,
sarapan dulu kak sebelum berangkat sekolah,” sahut Ibu Nana sembari menyiapkan
sarapan untuk ketiga anaknya dan Ayah.
Haidar
merupakan anak ke-2 dari 4 bersaudara. Kakaknya yang pertama, telah beranjak
dewasa dan duduk dibangku perkuliahan, sedangkan adik perempuannya yang ke-3,
Nasya duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, dan yang terakhir, Nabil duduk
dibangku Sekolah Dasar kelas 1. Keluarga yang hangat, keluarga yang sangat
menyayanginya, itulah yang dirasakan Haidar sejak ia kecil hingga sekarang.
Bersyukur, Ia memiliki masa-masa hidup bersama keluarga yang indah.
“Kak,
Kak Haidar….” Panggilnya pelan dengan nada merayu.
“Hm,
kenapa Bil? Pasti ada maunya, ”
“Hehe…
nanti, pulang sekolah main badminton bareng Nabil yaa?”
Perlahan,
Haidar menaruh sendok dan garpunya. Kemudian, ia berakting seperti orang sedang
berfikir keras dengan matanya yang menghadap kearah atas,
“Tuh kan…
pasti ada maunya. Berani bayar berapa, Bil?”
“Nabil
berani bayar lima ratus!”
“Ribu??????”
“Ribu itu
apa kak?”
“……” Haidar
lupa jika ia sedang berbicara dengan anak berumur 8 Tahun. Tanpa Haidar sadar,
Ibu, Ayah, dan Nasya kini sedang terbahak-bahak bahkan Nasya hampir saja
tersedak makanan selepas memerhatikan percakapannya dengan Nabil.
Nabil mulai
melekukkan bibirnya kebawah memasang wajah kesal, dan mulai menggerutu, “Ah
Kakak mah, ngga asik. Pokoknya Nabil mau marah sama Kakak!”
“Iya bawel,
nanti Kakak temenin main,” jawab Haidar dengan senyuman yang jahil.
Jam
telah menunjukkan angka 07:30 WIB, yang menjadi pertanda bahwa Haidar harus
sesegera mungkin mengendarai motornya menuju Sekolah. Deruman motor yang kini
ia tumpangi terdengar jelas, dengan tenang Haidar mulai berangkat menuju
tempatnya mendapatkan ilmu, juga mulai berangkat menuju… tempat yang sedikit
memberikan ia jarak kepada ‘Teman Lama’nya yang kini entah masih akan menjadi
teman sesungguhnya, atau tidak.
****
Ciiitt…
“Huh,
selamet.. selamet… untung aja gue ngga jatoh pas ngerem. Kalo jatoh, tengsin
gue, diparkiran diliatin sama anak-anak satu sekolah,” sambil mengelus-elus
dada, degup jantungnya yang sempat cepat tadi, kini telah mereda. Untung saja
Elsya tidak menjatuhkan diri dan motornya saat berusaha untuk memarkirkan
sepeda motor miliknya.
Deg!
“Eh?”
lekat-lekat Elsya memastikan bahwa yang kini sedang ia pandang persis
didepannya bukan bunga tidurnya. Kemudian, pelan Elsya menghela nafasnya untuk
menetralkan kembali degup jantungnya yang tadi sempat tenang kini menjadi tidak
teratur lagi. Dia… sialan, Haidar. Kamu berhasil membuat Elsya kembali menjadi
tidak karuhan.
“Gila
gila… diabetes gue Ya Allah,” Elsya memutuskan untuk buru-buru berjalan menuju
kelasnya. Elsya memilih untuk tidak menatap wajah Haidar lamat-lamat, karena
itu hanya membuat Elsya semakin salah tingkah. Haidar tampan, tapi bukan itu
yang membuat jantung Elsya berdegup kencang dibuatnya. Tatapan itu… tatapan
dingin itu, yang membuat nyali Elsya ciut setiap mereka berdua dipertemukan
oleh semesta.
Dringgggg…
Bel
pulang sekolah berdering di jam ke 13:45 WIB, namun hanya dihari Sabtu saja
kerumunan anak-anak SMA Negeri Atmawijaya masih berada dalam lingkup sekolah. Dikarenakan,
hari ini dilaksanakan ekstrakulikuler yang paling membuat Elsya berdecak malas,
Pramuka.
“Kenapa
pramukaan mulu sih, udah kelas 12 juga,” desus Elsya kesal dan melampiaskannya
kepada Zuli.
“Yang
sabar, gua juga kalo bisa cabut mah udah cabut gua daritadi,” tambah Zuli.
“Ehiya,
Sya,”
“Sya…”
“ELSYAAAAAAAAAAAA,”
Zuli berteriak persis didepan wajah Elsya yang sedang berekspresi datar.
Elsya
yang sedang dimabuk lamunan, kini tersadar dan menyahut teriakan ketidakjelasan
yang dikeluarkan oleh Zuli, “Ha? Apaan si, suka nggajelas lo mah,”
“Gua
dapet nomor handphone Haidar,”
“Hah?
Apaan?
“Gue
dapet nomor handphone H a i d a r,” eja Zuli dengan nada bangga.
Elsya
mulai mencoba menaruh perhatian penuh kepada ucapan Zuli, “Gimana-gimana, gue
nggangerti deh,” Elsya masih tidak percaya.
“Gue
dapet nomor handphone cowok yang lo suka liatin itu,”
“Hah?”
Elsa semakin dibuat heran.
“Ah,
tau dah. Sekali lagi lo tanya gua, dapet doorprize dah lo lama-lama. Tulalit dasar,”
cetus Zuli kepada perempuang dengan
ekspresi kebingungan yang kini sedang ada dihadapannya.
“Mau
dong Zul, tapi… gue malu sama dia,” ceplos Elsya.
“Loh,
kenapa lo harus malu? Lagian dia anaknya baik, menurut gua sah-sah aja kalo lo
mau menjalin hubungan pertemanan sama dia,” kini Zuli yang dibuat bingung oleh
Elsya.
“Gue
selama ini merhatiin dia juga bukan artian gue mau PDKT in dia Zul, tapi entah
dari sisi gue yang mana, gue merasa tertarik sama setiap bentuk secara fisik
maupun pola pikirnya dia. Gue…. Akan merasa sangat beruntung kalo gue bisa
punya temen kaya dia. Tapi, tatapan dia njir Zul, gue angkat tangan. Gue ngeri tiap
kali ketemu dia dan ngeliat tatapan matanya. Sadis men,” ucap Elsya dengan
sejujur-jujurnya kepada Zuli. Tanggapan Zuli, bukan lagi melontarkan kalimat,
namun ia hanya mengangguk-anggukkan kepala seperti mengisyaratkan ia tahu apa
yang Elsya inginkan, dan apa yang Elsya takutkan.
Elsya
ingin berteman dengan Haidar, tapi Elsya takut jatuh dan cinta dengan Haidar.
****
Semenjak
Elsya meminta nomor handphone Haidar, ia mulai memberanikan diri untuk
mengirimkan setiap pesan yang berisikan nada sebuah pertanyaan maupun
pernyataan yang sangat-amat Elsya anggap itu absurd. Entah menggunakan cara apa
lagi, agar Elsya dapat selangkah lebih dekat dengan Haidar. Dan Haidar pun,
setiap harinya ketika membaca pesan-pesan yang diterima dari Elsya selalu
dibayangi oleh tanya, “apakah ada hal
yang aneh dalam diri gue, sampai-sampai perempuan ini mendekati gue
dengan sebegini perjuangannya?”
Beberapa minggu telah berjalan, Haidar masih mendapatkan pesan-pesan yang ia terima dari
Elsya. Perempuan yang tak asing baginya, tapi ia juga tidak kenal dengan
perempuan itu.
Elsya :
Haidar, saya boleh kan berbicara sesuatu
Haidar : Iya
Kak, boleh
Elsya : Jangan
panggil saya Kakak, panggil nama saja
Kak Elsya is typing…
Haidar
: Okey, Elsya?
Elsya :
Besok, boleh kita ngobrol langsung sebentar?
Haidar : Langsung,
kak?
Haidar : Eh
maksudnya, Sya?
Elsya : Iya
besok, bisa?
Haidar : Insya
Allah bisa kak, tapi emangnya ada keperluan darurat apa ya sampe-sampe harus
banget langsung ketemu?
Elsya : Kamu
bakal tau jawabannya kalo kamu dateng besok
Kak Elsya is offline.
Masih
dengan wajah kebingungannya, Haidar berusaha untuk menerima kejadian yang baru
saja terjadi, dimana ia diajak oleh Kakak kelas yang sebelumnya tidak pernah
berbincang maupun menyapa dan masih belum menahu apa alasan dibalik Kakak kelas
itu mengajaknya bertemu.
Dringg!
Notifikasi
handphone Haidar pun, kembali berbunyi. Kini, yang ia dapatkan bukanlah notifikasi
pesan dari Kakak kelasnya itu. Tapi, dari ‘teman lama’ Haidar yang tiba-tiba
dengan seenak jidatnya muncul kembali dalam kehidupannya.
0821xxxxxxxx : Hai Haidar, kamu apa kabar?
Haidar : Ini siapa?
0821xxxxxxxx : Ini aku, Kejora.
Haidar : Ada
urusan apa lagi?
0821xxxxxxxx : Aku pengen minta maaf sama kamu. Semenjak kita
berpisah setelah kelulusan SMP kemarin, aku banyak-dan lebih banyak menyakiti
kamu dengan setiap sikap dan perlakuan aku ke kamu.
Haidar : Gunanya
minta maaf hari ini untuk kesalahan yang sudah terlanjur lampau, apa?
0821xxxxxxxx : Aku pengen menebusnya. Aku selalu dihantui
rasa bersalah, si Pemain drum favorit aku.
Haidar : Apa
kamu ngga malu, masih manggil saya dengan sebutan seperti itu?
0821xxxxxxxx : Tolong maafin aku, Haidar. Aku tahu aku salah,
aku sadar, semua yang aku lakuin dulu. Itu bikin kamu sakit hati. Bikin kamu
kecewa, ketika aku justru milih untuk menyudahi segalanya dengan kamu,
sedangkan kamu masih ingin mempertahankan dengan sebaik-baik mungkin. Aku…. Menyesal
Haidar : Bukannya
penyesalan emang slalu dateng diakhir?
0821xxxxxxxx : Kita perbaiki lagi sama-sama seperti dulu ya?
Haidar : Boleh
0821xxxxxxxx : Serius?
Haidar : Iya
0821xxxxxxxx : Besok temui aku di Café yang biasa dulu kita
manggung disana ya?
Haidar : Harus
besok?
0821xxxxxxxx : Lebih cepat kan lebih baik? Aku menunggu
kamu besok, Haidar.
Mati!
Jadilah Haidar bingung setengah mati. Bagaimana
bisa, besok dirinya akan bertemu dengan 2 sosok perempuan yang meminta
membicarakan suatu hal dengan selisih jam yang sedikit? Haidar tidak mungkin
membelah diri seperti amoeba, tidak mungkin juga ia akan terbagi menjadi 1000
bayangan seperti Naruto. Haidar harus memutuskan untuk membatalkan satu satu
janji yang ia iyakan sendiri. Dan Haidar masih bingung dibuatnya, siapa yang
besok akan didatanginya dan membicarakan bersama suatu hal yang dimaksud itu.
****
Keesokan
Harinya
Deruman motor kesayangan yang membawanya kemari,
semakin terdengar jelas. Perempuan disudut Café itu yang sedaritadi tidak sabar
menunggu kedatangan Haidar, tersenyum lebar sembari menghela nafas untuk
menguatkan tekad, maksud dan tujuannya ia mengajak Haidar untuk mengobrol
dengannya.
Bunyi lonceng yang tergantung
diatas pintu masuk Café, terdengar jelas ditelinga Perempuan itu. Sekilas,
Haidar menyapa dengan hangat agar terkesan tidak canggung.
“Hai,”
“Hai Haidar, duduk dulu,”
Laki-laki yang kini dihadapan perempuan itu masih sama. Masih memiliki senyum
yang lembut, namun tajam pada tiap tatapannya.
“Kamu mau pesen apa?” Tanya
perempuan itu dengan lembut.
“Nggausah Ra, aku sudah kenyang.
Langsung ke point nya aja, ada apa?” tolak Haidar dengan ramah.
“Sebelumnya… aku mau makasih
sama kamu, karena kamu udah mau repot-repot dateng ke sini. Yang aku pengen
omongin sebenernya…” Kejora mulai dilanda rasa groginya. Cepat-cepat ia
mengambil nafas lalu menghembuskannya pelan.
“Ya? Aku masih nunggu lanjutan
ucapan kamu, Ra.”
“Sebenernya… aku mau minta maaf
sama kamu atas semua perlakuan ku yang udah ngecewain kamu selama ini. Aku mau
memperbaiki semuanya dari awal,” Sekejap, Kejora tertegun. Ekspresi yang
ditunjukkan Haidar sangat-sangat datar. Diluar dari ekspektasi Kejora.
“Mungkin bisa,” ucap Haidar
singkat.
“Maksud kamu…? Aku bisa
mermperbaiki semuanya dari awal lagi?” lontar Kejora pelan, memastikan bahwa
apa yang ia tangkap sama dengan apa yang dimaksud oleh perkataan Haidar.
“Iya, mungkin bisa. Tapi bukan
dengan aku. Coba belajarlah mencintai orang yang seperti kamu mencintai aku
dari yang dulu-dulu hingga sekarang. Berlatihlah untuk memulai dari awal dengan
laki-laki yang cintanya juga sama seperti besarnya cinta kamu kepada aku.”
Sekejap, Café yang sejak awal
memiliki suara gaduh ramai, senyap langsung menyerbunya. Kini hening tercipta
diantara mereka berdua. Kini Kejora, hanya bisa diam dan pasrah. Air matanya
mulai perlahan jatuh pada pipi lembutnya.
“Apa… kita udah benar-benar ngga
bisa bersama lagi?” Kejora masih ingin memastikan bahwa Haidar masih akan terus
dan tetap memberikannya kesempatan.
“Bukannya ngga bisa lagi, tapi
semuanya memang sudah berhenti. Kisah kita sudah tutup buku, tidak ada lagi
lembar yang bisa kita tuliskan untuk cerita yang baru. Kita sudah berhenti
sejak lama, bukan?” Haidar berusaha mengucapkannya dengan nada setegar yang ia
bisa. Meskipun, sesak itu kian menjadi-jadi, hampir saja meluluh lantahkan
ketangguhannya selama ini. Haidar, masih ingin bersama. Tapi ia tahu, sudah
tidak ada apa-apa lagi yang bisa diciptakan diantara mereka, masa-masa mereka sudah kadaluwarsa.
Sambil mengelus puncak kepala
Kejora dengan pelan, Haidar meminta izin untuk berpamitan pulang,
“Aku pulang dulu, jaga diri kamu
baik-baik. Jadi perempuan, jangan emosian lagi. Perempuan baik, pasti akan
dapet laki-laki yang baik juga. Aku sudah ikhlas, ketika kamu mengucapkan kata
pisah saat itu. Semoga, kamu juga bisa belajar seperti itu ya. Take care.”
Kejora menundukkan kepala,
dengan pelan ia merespon ucapan terakhir Haidar itu dengan anggukan. Semuanya sudah
berakhir. Kini ia dan Haidar sudah tidak ada apa-apa lagi. Semua rindu yang
Kejora kira akan terbayar dengan kebahagiaan, justru terbayar oleh lara. Sudahlah
pupus, harapan Kejora untuk kembali bersama Haidar.
Haidar mengencangkan pengaman
helm yang ada. Dengan pasti, Haidar
membawa kendaraannya melaju bersama dibawah senja yang kian berubah menjadi
malam. Dalam perjalanannya, Haidar tersadar, bahwa kini ia sudah tidak lagi
bisa dan tidak akan pernah lagi bisa mencintai dan menyayangi Kejora, melebihi
sebagai teman. Mereka sudah tidak akan menyatu dan bersatu kembali. Karena, Haidar
justru baru menyadari, jika kehadiran perempuan absurd yang selalu mengiriminya
pesan itu, mampu menyingkirkan kesepian yang melandanya, mampu menerangi tiap
ruang yang telah menjadi gelap karena telah ditinggal oleh penghuninya
terdahulu.
Elsya mampu menjadi penerang
dalam gelapnya hati Haidar.
Dan Haidar, baru menyadari…. Kalau
ia telah melewatkan kesempatan untuk berdua mengobrol dengan Elsya hari ini.
“Sialan, gagal nggunain
kesempatan kan gue, shit.”gerutu Haidar. Mengingat bahwa ia secara tidak
sengaja telah mengecewakan Elsya, ia langsung menambahkan kecepatan motor agar
cepat-cepat sampai rumah dan beristirahat.
****
Café DeDuo, Jam 17:00 WIB
Hari ini, Haidar tidak memenuhi
janjinya. Elsya telah diberi harapan palsu oleh adik kelasnya sendiri.
“Bener kan dugaan gue, dia ngga
segampang ini buat diajak ketemuan sama orang baru yang modelnya kaya gue. Seharusnya
gue ngga melakukan hal sebodoh ini dengan mengorbankan harga diri dan martabat
untuk ngajak ketemuan.” Elsya sudah menduga-duga jika Haidar memang tidak akan
datang dipertemuan pertama kali mereka.
Entah Elsya mendapat ilham
darimana, ia kemudian mengambil secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasnya. Kemudian,
berniat untuk menuliskan segala kejujuran, maksud dan tujuan ia mengajak Haidar
untuk bertemu hari ini. Seharusnya semua ini tidak perlu sedrama ini, hanya
untuk melontarkan kata-kata yang seharusnya dilontarkan secara langsung jika
Haidar datang hari ini. Tapi semesta, berkehendak lain.
****
Tok!
Tok! Tok!
“Assalamua’laikum Buuuu, Haidar
pulang,” sapa hangat Haidar dengan wajah kelelahannya.
“Wa’alaikumussalam, Kak, baru
pulang?” tanya Ibu sambil membantu anak keduanye membereskan barang-barang
bawaannya yang dibawanya tadi.
“Iya Bu, capek banget.”
“Tadi ada perempuan, manis
banget, sopan, nitipin surat buat kamu. Katanya perempuan itu ngga mau ngasih
tau namanya ke Ibu. Biar kamu saja yang nebak-nebak sendiri, katanya. Coba deh,
Kakak liat. Siapa tau itu surat terror gimana….” Celetuk Ibu dengan nada
was-was.
“Hush Ibu, ngawur. Haidar bawa
ya bu suratnya ke kamar Haidar, Haidar mau bersih-bersih dulu,” sembari membawa
barang-barangnya, Haidar menuju kamar tidur untuk membersihkan badan dan
merapikan segala barang bawaannya.
15 menit kemudian…
Sambil merebahkan tubuhnya diatas tempat
tidur, Haidar
mengambil sepucuk surat beramplop warna hijau yang entah dari siapa. Perlahan Haidar
membuka isi surat itu dan membacanya dengan seksama,
Dear Haidar Alfarrelza,
Untuk
pertama kalinya, kesan yang kamu
tinggalkan sama saya cukup kurang baik ya. Kamu tidak menepati janji kamu untuk
datang bertemu dan mengobrol dengan saya. But, it’s okay, I’ll accept it. Saya tahu,
mungkin kamu belum atau bahkan tidak akan pernah siap bertemu dan bertukar sapa
dengan saya yang kamu anggap hanyalah seorang perempuan aneh dan juga kakak
kelas yang sok kenal dan sok dekat dengan kamu. Tapi sungguh, semua yang saya
lakukan selama ini, tidak ada niatan apapun untuk mengusik atau bahkan
mengganggu hidup kamu. Surat ini menyampaikan apa yang sebenarnya yang ingin
saya sampaikan dipertemuan pertama kali kita sore tadi.
Saya
tertarik dengan kamu, Haidar. Tapi tunggu, bukan bermaksud saya tertarik dalam
konteks saya-suka-kamu atau saya-cinta-kamu. Tapi lebih dari itu. Saya tertarik
akan hal-hal yang ada memutari kamu. Senyuman hangat kamu, ketidak pedulian
kamu yang memang seharusnya tidak diperdulikan, suara lembut kamu, dan tatapan
kamu. Ya, walaupun saya juga memiliki rasa traumatik dengan tatapan kamu,
karena kamu pernah menatap saya dengan setajam itu, tapi lama-lama trauma
berubah menjadi pesona. Saya benci untuk jatuh cinta dengan kamu. Jika saya
bisa memilih untuk tidak cinta kamu, saya akan pilih opsi itu.
Sudah
lama saya lamat-lamat memerhatikan kamu sejak semesta bermain-main dengan kita.
Untungnya, saat pertama jumpa, saya belum diberi rasa ketertarikan dengan kamu,
jadi saya tidak harus merasakan betapa canggungnya saya ketika tidak sengaja
memiliki jarak sepersekian lebih dekat dengan kamu.
Saya
bukan pengagum mu, apalagi pengagum rahasiamu. Sudah jelas, saya
terang-terangan seperti ini. Saya juga bukan penggemarmu, apalagi pengejar
cintamu. Saya hanyalah perempuan, yang ingin berkenalan dengan cara baik-baik
dengan kamu. Ingin menjalin pertemanan yang baik, ingin menjadi teman yang
baik. Entah kita akan menjadi teman hidup atau teman redup, hanya waktu yang
mampu mengungkap semua itu. Saya tidak mengharapkan balasan apapun dari kamu,
asal yang kamu tahu, saya hanya minta izin untuk menjadi temanmu.
Saya
tidak baik, dan saya bukan juga teman yang baik. Kalau memang kamu masih butuh
waktu untuk berfikir, saya akan selalu sedia memberi waktu senggang sedikit. Pesan
saya, tetap menjadi Haidar yang pertama kali saya jumpa. Kesedihan, kepatah
hatian yang pernah kamu alami dulu, jangan jadikan rasa trauma dalam jiwa. Mendapatkan
kebahagiaan, hanya perlu sedikit keikhlasan dalam melepaskan segala sesuatu
yang terjadi pada masa lampau. Mengungkit yang lalu, hanya membuka rasa pilu. Jadilah
sosok yanglebih baik dari hari kemarin. Berteman dengan lawan jenis, bukan
suatu hal yang buruk. Bukan juga menjadi pertanda bahwa akan ada benih-benih
cinta diantaranya, namun justru memudahkan kamu dalam memahami tiap-tiap individu
yang berbeda agar kamu bisa lebih siap menghadapi kehidupan yang sesungguhnya
diluar sana.
Maafkan
saya jika saya terlalu banyak menulis pesan ini, kalau boleh jujur, tangan saya
juga pegal menuliskan semua kosakata yang berjejer diatas. Kuncinya ada pada
kamu, andai saja pertemuan kita tidak digagalkan secara sepihak, ya.
Terimakasih
untuk membacanya, semoga hari kamu menyenangkan.
Your
candidate new friend,
Elsya Shamira
Mailika
Sejenak,
Haidar tertegun dengan rentetan tulisan yang ada di surat itu. Dengan berwajah
datar, yang Haidar keluarkan, bukanlah ekspresi yang sebenarnya ingin ia
keluarkan. Haidar entah harus akan senang atau marah atau bahkan sedih, Haidar
tidak tahu. Haidar pun juga tidak tahu, apakah ia masih akan bisa merasakan
nyamannya dicintai atau mencintai, Haidar hanya butuh waktu untuk menjawabnya.
Yang hanya Haidar tahu saat ini, bahwa ia mulai membuka lembaran baru pada buku
baru yang ia beri nama, Elsya Shamira
Mailika.
-To Be Continued-
Comments
Post a Comment