Sepucuk cerita dari Haidar.

         




    [Sekuel kedua cerita bersambung "Sepucuk cerita untuk Haidar."
 Enjoy, bakwanlovers]




                ****


                Sang pujaan tak juga datang, angin berhembus bercabang. Rinduku, berbuah lara. Sang pujaan tak juga datang, angin berhembus bercabang. Rinduku, berbuah lara, uuu lara…..
                Lagu Angin Pujaan Hujan itu kini kian memenuhi seluruh ruangan yang ada dalam kamar Elsya. Wajahnya tertekuk lesu, sendunya semakin menjadi-jadi, ketika siang tadi saat pulang sekolah Elsya menemukan sebuah fakta yang mengejutkan sekaligus entah mengapa menjadi menyakitkan baginya.

                7 Jam yang lalu… 

                “Sya, lo cantik banget deh hari ini nggatau kenapa,” ujar Zuli yang sedang merayu Elsya agar ia mau ditebengi oleh Zuli, tebengers yang satu ini.
                Elsya yang sedang asyik merapihkan buku-buku sambil memasukkannya ke dalam tas, menyaut rayuan Zuli dengan seadanya, “Mager, gue pengen pulang cepet. Lo nebeng ke yang lain aja, kasian ban motor gua bawa bebannya berat mulu,”
                “Au ah gelap ngeledek mulu lo mah kerjaannya, dah sono ati-ati dijalan,”dumel Zuli kepada Elsya. Sambil cengar-cengir sendiri, Elsya membalas, “Iya ndut, gua duluan. Ahahaha” kemudian Elsya melambaikan tangannya dan berjalan menjauh menuju parkiran sekolah.
                “Sialan,” desus Zuli.
                Elsya sesekali membenarkan sweater warna kuningnya, kemudian saat Elsya memelankan laju jalannya di lorong dekat parkiran sekolah, ia mendengar-atau lebih tepatnya-menguping-tapi tidak menguping-seperti tidak sengaja menguping pembicaraan 2 orang perempuan yang kini tepat sedang berjalan didepannya.
                “Gue juga ngiranya dia jomblo, Rel,” tukas perempuan yang berjalan ada disebelah kanan sambil berjalan santai.
                “Ah elah, gue mau deketin jadi gagal gini. Emang siapa sih cewenya Haidar? Perasaan gua ngga pernah ngeliat dia jalan ataupun deket sama cewe di Atmawijaya deh,”
                Dug!  Tiba-tiba jantung Elsya seperti ingin meletup-letup ketika mendengar nama Haidar.
                “Cewenya… Haidar?” batin Elsya.
                “Bukan anak  sini katanya, Rel. Tapi gue nggatau namanya siapa, pokoknya pasti cewe itu beruntung banget dapetin cowo model Haidar gitu,”
                “Iya sih, tapi kan gue jadi gagal ngedeketin Haidar. Udah ketikung duluan jalur gue…”
                “Tenang Rel, selama janur kuning melengkung, semuanya masih milik bersama kok. Tenang…”
                “Anjay juga pepatah lo, yaudah lah yuk cabut gue udah laper nih, Fik.”
-----
                “Ahhh, sialan!! Kenapa sih gue masih terngiang sama gosip tadi. Buat apa coba gue mikirin,” Elsya melemparkan bantal panda nya yang sedaritadi digunakannya untuk menutupi wajah yang kini telah dibasahi oleh… Entahlah, bisa disebut air… mata?
                “Gue kenapa cengeng banget…. Lagian itu kan belum tentu bener juga elah,” Elsya tidak tahu alasan mengapa ia bisa menjadi secengeng ini. Ini masalah sepele, lagipula Elsya tidak menaruh harapan lebih kepada Haidar. Sepertinya.
                Dringgg…
                Selang beberapa menit saat Elsya berusaha mengeringkan pipinya yang basah, Elsya menerima notifikasi pesan yang setelah dicek, merupakan notifikasi dari Zuli. Tak lama setelah Elsya membuka pesan yang diterima dari teman sebangkunya ini, matanya terbelalak ketika membaca isi pesan itu, 
Zuli is online
 
Zuli : Sya, kok gue akhir-akhir ini kepikiran sama Haidar ya? Semenjak gue chat an sama dia, gue tiap hari senyum-senyum sendiri ngga jelas, apalagi kalo pas gue ngga sengaja nyapa dia gitu… Apa, gue suka sama dia ya?
Zuli : Sya…
Zuli : Kayaknya gue beneran suka sama Haidar deh
Zuli : SYAAA??? Lo kemana sih, online ngeread chat gue tapi ngga dibales-bales?
Elsya is offline
Zuli :  Yah, kok diread doang sih chat gue? Gue harus gimana nih Sya? Atau gue lanjut deketin Haidar aja atau gimana?

                Sendunya kian menjadi-jadi, Elsya semakin meratapi nasibnya yang juga belum beruntung bisa memiliki teman seperti Haidar, tanpa diganggu oleh perempuan-peremuan tidak jelas, seperti teman sebangkunya.
                Elsya beranjak dari tempat tidurnya. Sambil berjalan menggelontai ke arah balkon kamar, Elsya menyaut gitar kesayangannya lalu duduk di sofa balkon kamar. Sejenak, kelopak matanya perlahan menutup dan kemudian perlahan kembali meneteskan air mata.
                “Huft, ini bukan pertanda baik… Gue udah terlanjut kebawa perasaan sama Haidar. Gue ngga boleh gini. Ngga. Ini ngga bener,” Elsya menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. Kemudian, ia menepuk-nepuk pundaknya yang terasa sedikit agak lebih berat dari malam-malam biasanya.
                “Ini adalah malam minggu terburuk gue yang pernah ada,” gerutu Elsya sambil memetik perlahan senar-senar tercintanya dengan lembut namun juga dibarengi rasa jengkel karena masih terngiang dengan jelasnya tentang Haidar. 
Dua jam kumenunggu
Hancur semua rencana
Dua jam kumenunggu
Entah harus bagaimana
Masih sabar menanti
Bosan datang menghampiri
Sampai kapankah ini
Penantianku berakhir
Tolong sabarlah dulu
Beri aku sedikit waktu
Sabar – sabarlah dulu
Sebentar lagi kita kan bertemu
Huuu….
            Lagu yang diciptakan oleh Payung Teduh dan Mocca ini, adalah salah satu dari sekian lagu favorite Elsya ketika ia sedang dilanda kegalauan yang cukup akut. Jari-jemarinya memetik senar dengan lihai, ia ucapkan tiap bait lirik dengan sejujur-jujurnya. Ia hanya ingin bercerita pada semesta, bahwa ia… menunggu untuk bertemu dengan laki-laki yang kini telah berhasil membuat hati nya seperti sedang menaiki roller coster.
            Malam semakin larut, membuat Elsya memutuskan untuk kembali masuk kedalam kamarnya, dan menaruh gitarnya disebelah tempat tidur. Tanpa ba-bi-bu, Elsya langsung menyambar selimut dan langsung memejamkan matanya, lalu berdo’a kemudian menaruh harap,
            “Semoga, besok mata gue ngga sembab gara-gara mikirin lo doang, Haidar Alfarrelza.”


          ****

            “Lo kenapa sih? Tumben banget lo ngga bales chat gue,” baru saja Elsya duduk dan ingin menghela nafas sejenak, ia langsung dicecar omelan Zuli, orang yang semalam berhasil menambah mendung langit malam minggu milik Elsya.
            “Semalem gue ketiduran,” tukas Elsya dengan cepat, dalih-dalih agar Zuli berhenti mengintrogasinya mengenai alasan mengapa semalam tiba-tiba saja Elsya hanya membaca chat Zuli.
            Elsya tidak tahu alasannya apa, tiba-tiba saja raut wajah Zuli memerah seperti tomat, “Hm, terus gue harus gimana dong?”
            “Gimana apanya?”
            “Itunya”
            “Itunya apa?”
            “Yang semalem itu,”
            “Hah? Apaan si Zul, lo ngomong dikasih prolog dulu kenapa? Gue bingung lo lagi ngomongin apa,”
            “Itu, kayanya gue suka sama Haidar. Gue bingung, gue harus gimana nih sekarang?”
            Hela nafas Elsya kembali memberat. Nama laki-laki itu, kini bangkit lagi dari memori yang semalam sudah susah-susah Elsya kubur dalam-dalam agar tidak muncul lagi. Dengan nada yang agak seperti memaksa untuk santai, Elsya menjawab pertanyaan Zuli dengan sekedarnya,
            “Yaudah jalanin aja, lo berdua cocok kok.”
            “Lo yakin, gue sama Haidar cocok? Serius?”
            “Ya gitu,”
            “Ih lo mah, gue serius juga,”
            “Apa muka gue yang lagi kusut begini, menurut lo masih kurang serius?”
            “Ehehe, iya iya becanda kali gue, sensi banget sih kaya abis putus cinta aja,”
            “Ya emang gue kit ati gara-gara lo, kampret,” batin Elsya.


            ****
Semenjak Zuli mengabarkan bahwa ia memiliki rasa suka kepada Haidar, perlahan Elsya mencoba untuk berjalan mundur. Bukan, bukan untuk menghindari Haidar dari kehidupannya. Elsya hanya ingin memberi jarak pembatas antara dia dan Haidar, yang kini sudah tidak memungkinkan lagi untuk hanya sekadar berkomunikasi dan bertukar sapa meski hanya melalu pesan singkat.
Elsya berhenti mengirimi pesan-pesan absurd kepada Haidar, dan begitu pula dengan Haidar. Ia berhenti membalas pesan-pesan absurd dari Elsya. 
Dringgg…
“Paling juga Zuli, lagi-lagi curhat tentang Haidar,” gerutu Elsya yang sudah terlalu hafal dengan kebiasaan Zuli jika sedang dekat dengan laki-laki pasti ia ceritakan dari sejarah mereka bertemu hingga detail-detailnya. Maka, Elsya baru membuka pesan singkat itu, lalu Elsya kembali dibuat syok. Malam ini, Haidar sendiri yang berhasil membuat Elsya panas dingin. Haidar mengiriminya sebuah ajakan melalui pesan singkat.
Haidar is online

Haidar Alfarrelza : Besok bisa ketemuan?

Glek! Mimpi apa Elsya malam kemarin?  Terimakasih Haidar, kamu lagi-lagi berhasil membuat Elsya kembali salah tingkah dibuatnya.

Elsya : Hah…?
Haidar Alfarrelza : Kira-kira kamu bisa besok ketemuan ngga? Sebagai tebusan rasa salah saya kemarin membatalkan pertemuan pertama kita secara sepihak.
Elsya : Kemungkinan besar, saya bisa.
Haidar Alfarrelza : Akhirnya.. Saya tunggu besok di Café tempat pertama kita janji untuk bertemu ya.”
Elsya : Okay.

Elsya is offline.


            ****
            Haidar ketar-ketir dibuatnya. Setelah ajakannya diterima ole Elsya, rasa senang menyelimuti bukan kepalang, ekspektasi akan ditolak secara mentah-mentah kini telah sirna dan berubah menjadi realita yang sangat menyenangkan. Ia besok akan bertemu perempuan absurd itu, Kakak kelasnya sendiri. Perempuan, yang memiliki kelucuan dari segi yang berbeda, memiliki keberanian dari segi yang tak terjamah. Bahkan, meski teman kakak kelas itu juga mendekatinya, ia hanya merasa cocok kepada, Elsya. Kakak kelas absurd itu. Hanya Elsya, perempuan dari negeri mana yang berhasil menyalakan lampu kecil dalam hati Haidar yang sebenarnya sudah mati dan gelap karena masa lalu yang kelam.
            “Gue besok pake baju apa ya…” gumam Haidar sambil berfikir.
            Sambil menyodorkan pakaian pilihannya, Nabil ikut nimbrung “Ini aja, Ka!”
            “Itu kan baju tidur, Bil…” eluh Haidar sambil menepuk jidatnya. Adiknya yang satu ini, benar-benar lugu.
            “Yaudah Kak, yang ini aja!”
            “Itu baju futsal, Kakak, Nabil ganteng…”
            Kemudian, Nabil meletakkan semua pilihan pakaiannya ditempat tidur. Tangan kanannya ditaruh dibawa dagunya, matanya melirik ke atas, ia seperti sedang berakting dengan adegan sedang berfikir keras “Hmmm, Nabil tau! Ini aja kak, pake kemeja batik ini! Kak Haidar kan suka batik, kakak juga suka kan sama cewe barunya kakak….”
            Oke, fikiran Haidar bahwa Nabil merupakan adik yang lugu, ternyata itu salah.
            “Ssst, Nabil tau apa hayo? Kakak mau ganti baju dulu ah, pake batik kaya sarannya, Nabil.  Biar banyak yang naksir,” ujar Haidar dengan nada genit.
            “Ih Kak Haidar genit!” sahut Nabil dengan tertawa melihat tingkah kakaknya yang sangat tidak cocok bila ia menjadi laki-laki genit.


            ****

            Café DeDuo, Jam 16:45 WIB

            Haidar sudah siap berada disana, ia memilih meja café yang berada dibelakang sudut café terpisah dari keramaian remaja-remaja alay lainnya. Duduknya sudah ditata rapih. Bahkan, menggunakan parfume lebih menyerbak harumnya dari hari biasa. Mereka berdua memutuskan untuk bertemu jam 17:00 WIB sesuai waktu seperti perjanjian kemarin saat pertemuan pertama kali mereka.
            Elsya kira, ia akan menjadi orang yang paling on time pada saat pertemuan mereka yang kedua. Tapi, ternyata saat Elsya berjalan pelan menyusuri café itu, ia menemukan laki-laki ‘nya’ telah duduk rapih dan sudah menunggunya dari beberapa menit lalu. Elsya langsung terburu-buru berjalan menuju objeknya itu.
            “Ekhem, Hai,” Elsya memberanikan diri memulai percakapan dengan nada agak sedikit salah tingkah.
            “Eh, Hai Elsya. Duduk disitu ya,” sambut Haidar dengan nada yang dibuatnya harus sedemikian rupa agar terdengar tidak grogi.
            “Udah lama nunggu?”
            “ 10 menitan kayaknya sih ada,” jawab Haidar sambil melihat jam tangannya untuk memastikan berapa lama ia sudah duduk disitu untuk menunggu kedatangan sang Kakak kelas.
            “Mengajak saya ketemu hari ini, untuk menebus kesalahan kamu yang pada saat kemarin tibatiba tidak datang dan menghilang tidak memberi kabar?” Elsya langsung menuju topik pembicaraan yang cukup berat. Elsya, perempuan yang lebih suka to the point.
            “Iya sejenis seperti itu. Tapi tepatnya bukan seperti itu.” Haidar melemparkan senyum kepada Elsya. Sudah pasti, Elsya akan menanyakan maksud apa dia mengajak Elsya untuk bertemu. Haidar pun kemudian mengeluarkan secarik amlop berwarna Biru, warna kesukaannya, lalu memberikannya kepada Elsya.
            “Surat untuk apa?” tanya Elsya dengan nada keheranan.
            “Surat untuk kamu baca. Terimakasih atas ceritanya, saya suka menyimak cerita yang kamu tulis. Dan saya menghargai betapa pegalnya tangan kamu menulis semua kalimat-kalimat itu,”
            Elsya mendadak bungkam. Tangannya kini gemetaran, ia dilanda rasa tidak percaya bahwa suratnya akan benar-benar dibaca oleh objek yang ia jadikan bahan lamunannya tiap waktu. Elsya tidak percaya ini.
            “Kamu… bohong. Memangnya kamu benar-benar baca itu semua? Memangnya kamu peduli sama saya? Saya bahkan merasa menyesal, ketika setelah saya mengirim surat itu. Saya mendengar kabar, bahwa kamu sudah terikat dengan perempuan lain. Yang bahkan, saya takut menjadi perusak hubungan seseorang.”
            “Kamu mabok ya?” jawab Haidar singkat.
            “Itu ngga lucu, Haidar.”
            “Ya memang ngga lucu. Kamu kata siapa sih, saya itu punya ikatan sama perempuan lain? Sejak kapan saya berani-beraninya membukakan pintu hati saya kepada perempuan lain setelah selama 2 tahun saya masih berkutat dengan masa lalu saya?”
            Elsya tertegun. Tebakannya benar, laki-laki ini memiliki ketraumaan tersendiri dengan percintaan.
            “Lalu itu semua, dan teman saya, yang kini masih senang-senangnya mendekati kamu?” tanya Elsya dengan nada kebingungan.
            “Kalau mereka memang mau dekat dengan saya karena ingin berteman, ya sudah. Saya membuka lebar untuk orang-orang yang ingin berteman sama saya, kok. Lagian, kamu kenapa? Sepertinya sedih banget kalo tau saya udah punya pacar. Kamu cemburu?” Haidar mulai memberanikan diri untuk bergurau dengan perempuan berekspresi tegang itu yang sedang duduk menatap keluar jendela café.
            Sambil menatap kerumunan orang-orang diluar café, menatap langit yang semakin gelap karena matahari kian turun dan enggan berpancar dilangit dengan teriknya lagi, Elsya angkat bicara,
            “Kamu itu menyimpulkan saya cemburu itu dari mana ya? Jelas-jelas saya hanya takut dicap sebagai perusak hubungan orang. Tidak lebih dari itu. I know I’m not the only one. So, if I already know that I’m not the only one, why should I be upset with you?”
            Haidar mengulas senyum tipis dibibirnya. Membuat Elsya yang sedang sibuk memerhatikan pemandangan diluar café, melempar pandangannya pada laki-laki yang duduk dihadapannya kini.
            “Semoga kamu tidak tersinggung setelah membaca suratnya ya,”
            Topik berat itu kemudian dialihkan kepada topik-topik simple. Sambil memakan pesanan mereka berdua, mereka terus bercengkrama tanpa canggung. Seperti teman lama bertemu kembali. Mereka terlihat sangat akrab.

          ****

            “Mahhhh, aku pulang,” seru Elsya yang sedang sibuk melepas sneakersnya di depan pintu utama rumahnya.
            “Tumben pulangnya sampe jam 7, geulis,” sambut Mamah Lina heran karena anaknya yang satu ini memang jarang pulang diatas jam 6 malam jika memang hanya untuk pertemuan di café atau semacamnya.
             “Iya nih, tadi temen Elsya ngajak ngobrol gitu, Mah. Topiknya seru-seru banget, sampe Elsya lupa waktu. Hehe,” jawab Elsya sambil cengar-cengir sendiri.
            “Yaudah sana kamu bersih-bersih dulu, terus jangan lupa belajarnya, inget udah kelas 12,”
            “Iya Mamahh, aku ke atas dulu ya.”
            Elsya berjalan menyusuri ruangan keluarga, yang akhirnya sampai diruang kamarnya. Elsya merebahkan sejenak tubuhnya yang sedaritadi telah dikuras tenaga hanya untuk siap mental bertemu dengan Haidar. Kemudian, Elsya ingat. Saat pertemuan itu, Haidar memberikannya secarik amplop. Daripada Elsya dibuat mati penasaran dan terbayang-bayang juga menebak-nebak seperti apa isinya, Elsya memutuskan untuk membacanya.
            Ia membuka amplop tersebut dengan pelan, menemukan sepucuk surat dan… foto Haidar?



Dear Elsya Shamira Mailika,

 
            Hai Elsya, semoga saya masih bisa mengubah kesan pertama saya yang sedikit buruk itu kepada kamu ya. Sejujurnya, saya menuliskan surat ini, untuk memberitahu kamu. Betapa berkesannya kehadiran kamu di kehidupan saya dalam beberapa minggu belakangan ini. Meskipun kehadiran kamu sangat-sangat tidak disangka, namun justru saya bersyukur karena saat kamu hadir, kehidupan saya menjadi ‘hidup’ kembali. Gara-gara kamu, saya juga jadi ikut-ikutan absurd. Gara-gara kamu, saya jadi lebih melakukan segala sesuatu karena ‘gara-gara kamu’.
            Jangan pernah menjauhi saya, ketika kamu mendengar berita-berita miring tentang saya, apalagi mencakup tentang kisah percintaan saya. Saya yakin, kamu tahu bagaimana kelamnya kisah itu hingga saya butuh waktu untuk merasakannya kembali nanti.
            Never be afraid to be a different person, you are more attractive when you become yourself. Saya ingin berteman dengan kamu. Ya, meskipun kamu lebih tua dari saya satu tahun, tapi tidak salah juga menjalin pertemanan dengan siapa saja. Kita menjadi dekat, bukan berarti ada ‘rasa’ yang berbeda diantara kita bukan? Ya.. kalau itu terjadi juga ngga papa sih, saya justru akan lebih senang. Tapi tidak untuk sekarang, hehe.
            Segitu aja sih, yang pengen saya sampein. Maaf kalo isinya tidak semenarik isi surat yang kamu beri ke saya. Namanya juga laki-laki, sulit mengucapkan dengan kata, lebih baik melakukannya dengan tindakan. Saya akan jaga kamu, sebagaimana teman menjaga temannya. Saya sayang kamu, sebagai teman. Dan yang menjadi teman saya, akan selalu saya sayang. Terimakasih sudah hadir dalam lembaran kisah baru saya, Elsya. I’m blessed it.

p.s : Fotonya disimpan ya, kalo kangen ajak ngobrol aja fotonya.




Your new friend,


Haidar Alfarrelza.


            Sekarang, perut Elsya seperti sedang dipenuhi oleh kupu-kupu yang siap terbang. Akhirnya, setelah sekian lama, setelah sekian pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan demi bisa lebih dekat sepersekian dengan Haidar, semuanya tidak sia-sia. Haidar menerima keberadaan Elsya. Haidar bersyukur dengan adanya keberadaan Elsya. Haidar senang dengan adanya keberadaan Elsya. Dan Elsya, senang dengan adanya keberadaannya dia, Haidar menjadi senang dan merasa lebih baik dari yang sebelumnya. When friends are more happy, don’t be forced to be more than that. When he thinks you are more of a friend and more happy, never wasted if you don’t want to regret later.

-To Be Continued-

Comments

Popular Posts