Merdeka Bagimu Yang Berani Jujur
10.15
Aku melihatmu sedang duduk melepas sepatu kiri lusuhmu
Menatap asal namun aku bisa menangkap dengan utuh
Kamu, seperti sedang lelah diterpa kabar buruk
Tiga belas detik kemudian, temanmu berteriak,
“Hei Gusti! Kenapa kabur?”
12.10
Siang ini kantin begitu ramai dengan gelak tawa
Satu mangkuk bakso lengkap dengan sawi tersaji dan siap untuk dilahap
“Sudahlah! Aku tidak akan bisa dapatkan Ajeng,” ucapnya
Aku terkekeh mendengarmu berbicara dengan arogan
13.15
Aku membawa langkahku ke arah pohon beringin dekat sekolah
“Ada yang duduk disini?” tanyaku dengan begitu pelan
Melihatmu begitu gelagapan, seperti diteriaki, “Maling!”
“Ti-tidak ada kok,” sahutmu dengan gugup
13.20
Lima menit berjalan dan kamu tetap memilih untuk diam
“Saya juga suka sama kamu,” celetukku perlahan
Kamu tertangkap seperti lupa caranya bernafas
“Hahaha, terkadang jujur terhadap diri sendiri itu perlu, Gus. Saya tidak bermaksud menggurui. Hanya saja, andai saya mengetahui kalau ternyata perasaan ini juga berbalas langsung dari ucapan bibirmu, bukan dari perkataan putus asa yang kamu lontarkan kepada teman-temanmu pagi tadi,”
13.24
Kamu termenung sembari mengusap tengkuk
“A-aku, tidak tahu harus bilang apa ke kamu. Aku takut kamu juga takut dengan kejujuranku. Aku takut kamu langsung musnah dan memilih untuk tidak mengenalku jika aku jujur,”
“Hidup sudah rumit, jangan kamu penuhi dengan ‘jika’, cukup dengan ‘apa’. ‘Apa’ yang bisa kamu lakukan agar perasaanmu bisa merdeka, Gus?”
13.27
Tiga detik kemudian, tanganmu meraih tubuhku dan memeluk begitu erat
“Aku sayang sama kamu, Jeng!” gertakmu
“Saya juga sayang sama kamu, Gus,” timpalku dengan senyum
Di bawah pohon beringin itu,
Sebuah momentum terjadi satu kali seumur hidup
Sebuah peristiwa yang bergulir begitu syahdu
Sebuah bukti bahwa merdeka lah kamu yang berani jujur
Comments
Post a Comment