Perempuan yang sedang (tidak) baik-baik saja.
Kamu adalah pendiam terbaik yang pernah aku temui, sebab kamu selalu bungkam meski tahu diriku sedang menyelam dalam jelaga kepura-puraan.
Kamu bahkan tidak berusaha menghentikanku yang hampir kepayahan, setidaknya berpura-pura untuk menyuruhku muncul ke permukaan.
Setiap kamu melihatku dalam keadaan kacau; di mana sisa pendar air mata semalam masih menggantung indah di pelupuk mata. Hanya akan ada pertanyaan, 'apakah kamu baik-baik saja?' yang keluar dari mulutmu.
Aku menutup mata dan menjawab, 'iya aku baik-baik saja'
Lalu kamu mengangguk sekali, dan pergi.
Kamu tidak tahu, bahwa ada duri kecil yang menyayat lapisan terluar dari perasaan ini. Terus menerus, sayatan itu mengiris sedikit demi sedikit lapisan yang paling dalam dan terjaga.
Kamu tidak tahu, setiap sorot acuhmu memberikan trauma tersendiri bagi hati. Ia yang masih lugu, seakan mendapat hantaman keras oleh karena sikap dingin dan masa bodohmu.
Aku hanya pasrah dengan senyum lemah.
Apakah kamu tidak ingat, waktu itu aku pernah memintamu untuk tetap tinggal? Lalu kamu menjawab dengan anggukan sekali dan pergi, lagi.
Aku anggap itu adalah jawaban terbaik—setidaknya kamu masih di sini dan tidak menghilang tanpa pamit.
Sekarang, aku dengan kesadaran penuh mengikuti arah punggungmu dari belakang. Meski kamu dengan sadarnya pula menghiraukanku dan asyik berkelana mengejar kupu-kupu di antara ilalang.
Aku (masih) baik-baik saja.
Maaf. Maaf. Maaf.
Aku terlalu percaya diri untuk mengawali pertalian antara kamu dan diriku yang terlalu abu-abu.
Entah akan aku teruskan untuk menyakiti diri atau malah mengakhiri dengan tetap aku yang tersakiti.
—BakwanMidnight, 5 November 2016.
Comments
Post a Comment