Perfect.


          Menjadi seseorang yang begitu cantik bukanlah hal yang mudah bagi Nara. Nara, seorang gadis yang sedang tumbuh beranjak dewasa. Kini dia berada di bangku SMA kelas 11. Baginya, menjadi seorang primadona disekolah benar-benar membuatnya terganggu. Nara, begitu risih ketika namanya selalu jadi bahan omongan teman satu sekolahnya karena memiliki tampang yang begitu cantik nan manis.
          Pagi ini, Nara berangkat sekolah menggunakan angkutan umum. Orangtuanya sedang berada diluar negeri, sedang mobil pribadinya sedang berada dibengkel untuk di service secara berkala.
Dengan ditemani teriknya matahari, Nara berusaha untuk mengejar angkutan umum yang ternyata sudah menginggalkannya sedari 2 menit yang lalu. Dan misi pengejarannya pun sia-sia. Angkutan umum tsb sudah pergi jauh meninggalkan Nara. Dan, Nara pun harus menunggu angkutan umum selanjutnya, berikut dengan keringat yang sudah sedari tadi menetes dari jidatnya dan seragamnya yang sudah mulai lusuh.
          Untuk pertama kalinya, Nara terlambat masuk sekolah. Nara hampir terlambat 15 menit pelajaran Kimia beserta guru yang selalu membuatnya hampir pusing kepala sendiri. Pasalnya, guru ini begitu tegas, hingga anjing pun tak pernah mau menggonggong didepannya, karena anjing tahu, bahwa dia kalah galak daripada guru ini.
          Dan prediksi Nara pun, kian terwujud. Ibu Ningsih, sapaannya. Telah siap menghadang Nara didepan pintu kelas. Saat Nara berdiri diambang pintu kelas, dilihatnya guru itu menatap Nara begitu tajam seperti orang sedang murka. Dan Nara, harus mengumpulkan nyali untuk meminta maaf atas kesalahannya yang terlambat masuk sekolah.
          “maaf bu, saya telat. Tadi saya, terjebak macet. Dan tadi saya menggunakan angkutan umum. Maaf ibu.....”
          “Sudah! Tak usah lah kau banyak alasan saja. Cepat duduk, dan siapkan bukumu untuk pelajaran kali ini.”

          Semua murid dikelas Nara, terbingung-bingung akan kelakuan Ibu Ningsih. Tak pernah ada yang memprediksi bahwa Ibu Ningsih akan membiarkan Nara duduk begitu saja tanpa diberi hukuman sedikitpun. Kau tahu, saat teman sekelas Nara terlambat masuk kelas 5 menit, Ibu Ningsih langsung memberi hukuman atas keterlambatannya dengan berbicara didepan microphone kantor tata usaha dan diumumkan kesetiap sudut sekolah bahwa ia meminta maaf karena terlambat masuk kelas Kimia.
          Tapi apa yang didapatkan Nara saat itu. Dia hanya diperingatkan saja. Tidak dihukum, padahal Nara sudah terlambat 15 menit.
Dan semua ini, membuat teman-teman sekelas Nara semakin menjadi-jadi untuk membuat berita yang tidak-tidak. Seperti;
karena saking terlalu cantiknya dia, bahkan Ibu Ningsih pun tak berani memarahi, bahkan menghukumnya.”
“biasalah, cewe cantik. Mana ada yang berani sama dia. diakan cantik, kaya raya, pinter pula. Makanya ga ada yang berani hukum dia.”
“gue bingung sama Ibu Ningsih. Mau banget jadi babunya Nara? Gue mah ogah.”
Dan sebagainya.
Nara begitu geram akan semua perlakuan teman-temannya yang selalu menyangkut pautkan suatu masalah ataupun tidak terhadap kecantikannya. Menurutnya, cantik bukan satu-satunya patokan bahwa dia harus menjadi seseorang yang dihargai. Menurutnya, etika lah yang membuatnya dihargai, dihormati, bahkan disegani. Bukan karena keunggulan fisik belaka, dan materi yang ada.


Pagi itu cukup cerah, Nara memutuskan untuk ke kantin. Saat sedang asyik-asyiknya membaca buku sastra yang Nara pinjam dari perpus sekolah sambil meminum susu jahe kesukaannya. Tiba-tiba, beberapa murid wanita menghampirinya dengan memasang wajah dengki,dendam dan iri terhadap Nara, sepertinya mereka adalah geng perkumpulan para perempuan-perempuan-egois-yang-ingin-menang-sendiri-tanpa-tahu-kebenaran-yang-ada. Tak berapa lama kemudian, wajah mereka sudah berada didepan mata Nara. Dengan nada santai, Nara yang tidak tahu apa-apa, berbicara ;
“ada apa?”
“ga usah pura-pura bego lah lo! Tau gak, gara-gara lo. Pacar gue jadi ga suka lagi sama gue! Dia malah lebih suka dan sayang lo daripada gue, pacarnya sendiri! Gak usah ngerasa cantik deh lo! Banyak cewe yang lebih lebih daripada lo! Kaya gue! Tengil lo!”
“loh? Pacar lo namanya siapa juga gue ga kenal”
“halah! Munafik lo! Terus, kalo lo kenal mau diembat juga! Najis banget lo”
“gini. Pertama, gue ga kenal lo siapa. Yang kedua, gue juga ga kenal pacar lo siapa. Ketiga, kalo emang dia sayang sama lo, dia ga bakal ninggalin lo. Keempat, siapa disini yang sok ngerasa cantik? Gue atau lo? Dan yang kelima, kalo gue munafik ke lo, emang lo kenal siapa gue?  Gue aja ga kenal sama lo”
“heh! Banyak omong banget sih lo jadi orang! Sini kalo lo berani sama gue! Gue gak takut sama cewe sok cantik, sok famous kaya lo!”
Keributan pun tak terelakkan. Kalian tahu, dikondisi seperti ini  yang ribut hanya geng mereka sendiri. Sementara Nara? Nara hanya terdiam dan terbingung-bingung akan keributan ini. Pasalnya, Nara tak tahu asal mula permasalahan dimana dan harus diselesaikan bagaimana, tiba-tiba dia harus ribut dengan orang-orang seperti mereka.
Ibu kantin pun, ikut melerai Nara dan geng tsb. Walaupun keributan telah mereda, namun mulut geng tsb masih saja berkicau dengan mengeluarkan kalimat-kalimat yang ingin mengancam keselamatan Nara, yang pada akhirnya membuat Nara semakin merasa berada dalam bahaya dan hatinya pun tidak tenang.
Nara merasa serba salah. Kalau, Nara melapor kepada guru BK, sudah dijamin keselamatan Nara benar-benar terancam. Kalau Nara diam saja, mana bisa dia diam saja? Kenyamannya berada di sekolah terancam hilang. Apakah diam saja adalah pilihan yang benar? Tentu saja tidak.
Semua masalah ini memenuhi kepala Nara, hingga rasanya. Nara lebih baik memiliki tampang jelek, biasa saja. Karena dia tahu, bila dia menjadi orang yang biasa, semuanya pun melihat dan berfikir tentangnya akan biasa-biasa saja.
Tapi, sejenak batin Nara yang menangis akan hal yang tidak adil ini terjadi, dia berfikir; ‘kalau aku gak bisa tertawa berulang-ulang pada lelucon yang sama. Kenapa aku menangis berulang-ulang pada masalah yang sama?’  

Terlalu pusing dengan semua gosip-gosip yang beredar diluar sana, Besoknya saat jam istirahat, Nara langsung menghampiri Ibu Ningsih diruang guru. Dengan keberanian yang tersisa, Nara pun memberanikan diri untuk bertanya;
“permisi ibu, maaf mengganggu waktu ibu sebentar. Saya mau bertanya kepada ibu boleh?”
“ada apa?”
“begini ibu, maaf sebelumnya mungkin saya terlalu lancang untuk bertanya akan hal seperti ini. Mengapa ibu membiarkan saya duduk langsung saat kemarin saya terlambat 15 menit pada jam pertama pelajaran Kimia?”
Ibu Ningsih hanya terdiam terpaku akan pertanyaan Nara. Namun, tak selang berapa lama, Ibu Ningsih melanjutkan makannya daripada menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Nara.  Dengan wajah penuh kesal karena ‘bukannya dijawab malah makan. Pantes aja gede!’ Nara hanya bisa mengelus-elus dada sambil berbicara lagi kepada Ibu Ningsih
“yasudah bu, maaf saya terlalu lancang untuk mempertanyakan ini. Maaf telah mengganggu waktu makan siang anda. Saya permisi du.....”
“kamu itu baik. Etika, masih terjaga. Sopan santunmu masih ada. Pantas, kau mendapatkan paras yang begitu elok. Kemarin, bukan berarti saya baik kepada kamu. Saya tahu, pertama kalinya kemarin kamu telat berangkat sekolah, karena alasan menggunakan angkutan umum. Saya tahu, itu hanyalah ketidak sengajaan. Dan saya tahu, kamu pasti takkan pernah mengulanginya kembali. Tak perlu dipermalukan, sebenarnya, didalam lubuk hatimu, masuk terlambat 1 menitpun saja, bagimu seperti ditelanjangkan oleh seluruh makhluk yang ada didunia. Saya percaya kamu tidak akan pernah menyalahgunakan kepercayaan guru-guru yang ada disini. Dan saya percaya, kamu takkan pernah terlambat kembali saat pelajaran saya berlangsung.”
Nara hanya bisa menelan ludah, serta bulu kuduknya yang hampir semua disekujur tubuhnya merinding. Untuk pertama kalinya, Nara mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri, Ibu Ningsih begitu banyak berbicara dan begitu bijak. Pasalnya, Ibu Ningsih dikenal sebagai ‘guru anti ngomong’ atau ‘guru irit suara’ karena, menurut Ibu Ningsih, bicara seperlunya, tapi tindakan yang harus diperbanyak.
Setelah itu, Nara hanya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Ningsih, lalu pergi ke kantin untuk membeli minuman hangat untuk mencairkan otaknya yang beku yang sedari tadi berfikir ‘apakah aku sebaik itu dimata Ibu Ningsih?’

Kalian tahu, bahwa menjadi seseorang yang dicap ‘sempurna’ itu hidupnya tak semudah yang dikira. Nara, cantik, baik, ramah, memiliki prestasi dalama akademik maupun non akademik yang tak terelakkan, orang tua yang berada. Mungkin itulah yang kalian maksud apa arti dari sempurna.
Semua perempuan, bisa menjadi sosok yang begitu mengagumkan tanpa melihat wajah dan fisiknya. Etika adalah kunci utama untuk bisa masuk kedalam ruang ‘perempuan cantik’. Kalau, kamu saja tidak bisa membenahi etikamu, buat apa kamu memamerkan kecantikan wajahmu kalau berbicara sopan saja tidak bisa?
Jika kamu menghormati dan menghargai seseorang dari wajahnya saat pertama kali kau lihat dan kau nilai, bagaimana kamu menghormati dan menghargai tuhanmu yang tidak berupa?
Apakah kalian lupa? Semua orang tidak pernah ada yang sempurna. Bahkan, orang-orang yang kalian sebut sebagai perempuan ‘sempurna’ pun lelah akan pujian. Lelah akan ejekan-ejekan yang menimpanya terus menerus karena dia terlalu cantik untuk berada dilingkungannya. Lelah untuk dituntut tentang hal apapun, karena yang kalian mengerti bahwa orang sempurna itu pasti bisa melakukan dan mengerjakan apapun kan?
Apapun alasannya, menilai seseorang dari apa yang kita tahu itu salah besar. Cemburu? Cemburu akan kecantikan dan kepopulerannya yang dimiliki olehnya? Seperti Nara? Demi tuhan, menjadi seseorang yang ‘sempurna’ dalam semua hal itu sangatlah tidak mudah.
Setiap orang itu pasti memiliki banyak sekali kekurangan. Yang kamu butuhkan hanyalah kebiasaan. Saat kamu terbiasa dengan semuanya, segala sesuatu menjadi lebih baik. Tak perlu cari teman ‘sempurna’ agar kau pun bisa menjadi ‘sempurna’. Cukup jadi diri sendiri, dan memulai belajar tuk menerima semua kekurangan yang kamu miliki.




-THE END

Comments

Popular Posts