Separuh dari satu yang utuh.

               
                Semuanya sudah sangat jelas sekarang. Aku bukanlah seseorang yang bodoh akan mencinta seseorang tanpa mengenalnya lebih jauh, lagi. Saat ini, aku yang baru. Seseorang yang sudah mengerti betapa sakitnya mencintai seseorang secara diam-diam, dan saat ini seseorang itu sudah memutuskan untuk bisa melupakan semuanya. Bagaikan angin lewat yang tak pernah diharapkan.
          “Don’t change yourself just to make someone love you. Be yourself and let the right one fall of you.” Itulah kata-kata Dirga, saat aku pertama kali berjumpa dengannya.
          Ya, Dirga. Seorang lelaki manis berlesung pipi, dan suka sekali tersenyum lebar. Dia begitu manis, namun tak secepat itu aku langsung tertarik kepadanya. Tubuh hangatnya yang selalu membuatku ingin memilikinya, namun aku tak sanggup. Bila ternyata, dekapan hangat itu ternyata sudah menjadi milik orang lain.
          Cinta datang karena terbiasa. Itulah yang aku alami sejak pertama aku bertemu mata dengan Dirga. Kali pertama, tak ada rasa. Namun matanya begitu seperti menggetarkan sesuatu yang hangat. Tercipta begitu spontan saja. Tanpa ada ekspresi dan keraguan, dia begitu menatapku dengan mantapnya. Tapi aku tahu, kenal dia saja tidak. Mana mungkin, dia menyukaiku. Kepekaan intelektualku tak sepayah orang-orang yang percaya pada ‘jatuh cinta pada pandangan pertama’.
          Aku mengenalnya layak teman seperti biasa, tanpa ada getaran sesuatu antara kita berdua. Kita berdua sama-sama cuek, acuh akan semuanya. Karena kita hanya sekedar teman. Kesan kali pertama aku mengenalnya-juga tak sebegitu autentik karena aku mengenalnya ketika dia berpacaran dengan temanku. Namun tak berapa lama, mereka putus karena temanku itu melanjutkan jejang SMA di kota lain. Dan Dirga, sepertinya tak pernah begitu percaya akan hubungan jarak jauh. Akhirnya, dia memutuskan untuk memutus hubungan antara mereka berdua.
          Sejak saat itu, sering melihatnya melewati kelasku, selalu tertawa dengan lesung pipi dan ciri khasnya tapi aku tak pernah menyadarinya, tak acuh kepadanya. Dan sekarang, tak pernah ada yang percaya bahwa saat ini aku menyukainya. Menyukai dia yang sangat begitu berbeda. Akan sebuah cerita dirinya yang sering kali menggelitik relungku. Dia begitu hebat. Sangat-sangat berkharisma. Kelucuannya sama sekali berbeda. Dia begitu berbeda, namun tak pernah mengada-ada.
          Kita memiliki beberapa kesamaan yang menurutku, ini sebuah kebetulan belaka. Aku dan Dirga sama-sama pembaca. Penyuka semacam novel romance dan komik Naruto. Ada juga, kami sama-sama pendengar musik jazz yang cukup ulung dan selektif dalam memilih sebuah tipe lagu dari genre jazz. Sudah kubilang, dia autentik.
          Bahagia? Tidak. Bangga? Tidak juga. Aku tak pernah merasa bahagia ataupun bangga karena memiliki beberapa kesamaan. Selera orang itu memang berbeda, namun tak jarang juga orang terdekat kitapun juga ternyata memiliki kegemaran yang sama dengan kita.
          Bukan masalah bangga, bahagia atau tidaknya. Justru karena itulah, saat ini aku semakin dekat dengannya. Mendekatinya namun aku tak ingin memiliki. Mendapatkan, ataupun merenggutnya dari dunia ini. Aku hanya ingin dekat dengannya. Sudah. Itu saja sudah cukup. Terbesit dalam benak, aku sudah cukup trauma tuk mencintai seseorang kembali secara serius. Karena aku tahu, saat aku benar-benar mencintai seseorang dengan tulus dan begitu jujur. Orang yang aku cintai, dia hanya main-main dengan perasaanku. Memainkannya bagai permainan teka-teki silang.
          Cinta bukan masalah soal menghadapinya. Namun hanya bagaimana caramu tuk memandangnya dari sudut yang berbeda. Cinta bukan berarti arogan, cinta juga bukan tentang dia suka lalu kamu hanya tinggal bilang ok. Cinta tak sesederhana itu namun tak sesulit yang dibayangkan. Sesederhana orang suka, sesulit orang bertahan.
          Resiko untuk ingin memiliki seseorang itu begitu besar. Harus memperjuangkan dan harus bertahan. Bagaimana bisa aku tahu bahwa ini sulit? Karena aku sudah mengalaminya. Cinta tak bertuan. Berjuang mati-matian, dia memberikan lampu hijau kepadamu, namun itu hanya sebuah harapan. Karena tak berapa lama, dia sudah ada yang punya. Menarik bukan untuk dicoba?
          Dan aku tahu, Dirga bukanlah seseorang yang pantas untuk aku miliki dan aku perjuangkan. Karena aku tak sepadan dengannya. Ketika cinta itu bertemu, aku akan buta. Tapi, ini bukan cinta. Karena dalam kondisi ini, aku masih bisa menggunakan logikaku, sedangkan cinta tak ada logika. Prinsipku adalah : “kalau memang kenyataan gak sejalan dengan keinginan buat apa diteruskan? Kalau memang cinta pergi dengan alasan ‘semoga kamu bahagia ya’ buat apa ditangisi kepergiannya?”
          Namun, terkadang ada hari dimana kita harus berhenti sebentar, nengok kebelakang. Lalu bersyukur. Karena sesuatu masalah yang sudah kita jalani, ketika kita mengingatnya kembali, mungkin berpikir dalam kepala bahwa masalah itu mustahil tuk dihadapi. Tetapi realitanya bisa dihadapi, dan menyadari bahwa sudah ada didepan.
          Mencintai Dirga, tak pernah membuatku menyalahkan diriku yang terlalu dini untuk mencintainya. Aku berbeda dengan yang lain. Ketika kalian semua sedang jatuh cinta, lalu ingin mendekatinya, maka kalian akan langsung mencari tahu berapa nomor telfonnya ataupun mencari tahu nama akun-akun social media yang dia miliki, bukan? Namun aku berbeda.
          Mencintai seseorang, menurutku itu adalah sebuah hal yang tabu. Dalam diam, diri berharap suatu saat dia tahu aku menyukainya, tanpa aku harus membuatnya terusik akan sms dan sebagainya yang bergulir terus berdatangan kepadanya. Aku tak pernah mau mengganggu hidupnya, meski aku tahu, aku ingin lebih dekat dengannya. Kadang, tuhan hanya mempertemukan, bukan untuk dipersatukan.
          Tapi, aku tak kecewa. Tak sedih dan terpuruk akan dia yang tak bisa terus-terusan aku dekati. Karena aku tahu, dihidupnya bukan hanya aku satu-satunya wanita yang mengagumi dia. Apalagi, ditambah dengan aku yang tak terlalu cantik tak sebanding dengan teman perempuannya yanga ada disekitar dia. Dulu, ayahku pernah bicara : “berpura-puralah bahagia, sampai kamu lupa kamu sedang berpura-pura.”
          Tak pernah ada rasa takut, namun yang ada hanya kehadiran rasa kagum yang bertambah saat aku menatap wajahnya. Tiap kali, wajahnya selalu bertambah bersinar ketika aku bertemu dengannya. Terasa disana dia begitu ramah, mengagumkan dan selalu berbeda dengan orang sekitar.
          Disisi lain, aku berfikir. Bagaimana jika semua teman-teman tahu bahwa aku menyukai Dirga? Karena Dirga sebenarnya seseorang yang sudah tak asing lagi bagi teman-temanku. Apakah mereka akan men-judge diriku atau mungkin mereka malah menertawakan kisah cintaku yang mungkin menurut mereka kisah ini terlalu begitu payah untuk diketahui? Menurutku, hanya 1 banding 1 milyar teman-teman yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan kisah cintaku ini. Cause, i know that we live in a world in which judgement is more important than getting to know  that person.  Salah satu itulah alasan mengapa diriku lebih memilih diam, daripada harus mengumbar tanpa berfikir panjang.
          Tentu, saat ini aku sudah mantap untuk memilih sebuah keputusan.
          Aku menyukai Dirga. Aku mengaguminya dan tak luput mencintainya dengan tulus hati terdalam.
Namun, aku tak pernah ingin memilikinya. Tak pernah terbesit ingin mendapatkannya dan mempertahankannya. Separuh hatiku telah hilang. Hanya tersisa separuh hati dan cinta tuk menyayangi, bukan tuk memiliki.
Cukup mengendalikan diri agar tak terlalu arogan akan cinta ini, dan berdoa agar dia bisa lebih bahagia, ketika dia tahu bahwa disini aku menyayanginya. Walau dari jauh.




-The End.

Comments

Popular Posts