Apalah arti menunggu
Sudah
sangat lama aku bertahan. Demi cinta wujudkan sebuah harapan. Namun, aku rasa
cukup untuk aku menunggumu disini. Karena aku fikir, semua rasa saat ini sudah
pudar.
Aku,
fira. Aku menyukai seseorang yang tak tahu bahwa aku menyukai dia sejak lama. Bisa
dibilang, sudah setengah tahun aku mendambanya dan sudah setengah tahun juga
aku telah memendam perasaan ini.
Aku
tak pernah berfikir untuk mengungkapkan perasaan ini. Karena aku tahu, aku tak
sepintar yang kalian fikir. Aku tak pernah bisa sepintar sang penulis yang bisa
mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata indah. Karena aku juga bukan musisi,
yang pandai menuliskan liriknya dengan begitu hebat.
Aku
hanya seorang perempuan biasa.
Semakin
aku memendam perasaan ini, maka secara tak sadar aku telah terbelunggu oleh
sebuah tali pesakitan. Aku sangat-sangat merasakan sakit ini. Aku butuh dia
untuk menemaniku dalam memulihkan rasa sakit ini, tapi dia tak pernah ada
disisi. Karena, ya, dia tak pernah tahu bila aku sangat menyukainya.
Dan
dia bernama Bimo. Ya, dia bernama Bimo. Aku sudah memendam perasaan ini
semenjak aku duduk dibangku sekolah smp kelas 9 sekitar setengah tahun yang
lalu. Dan sekarang, aku telah terjebak nostalgia dengannya. Karena aku dan dia,
saat ini khususnya berada di satu sekolah lagi. Dan itu sangat membuatku merasa
sakit di dada. Bukan bahagia, bukan hadir tawa dan canda, namun hanya hadir
rasa perih dihati. Karena yang aku sukai
adalah, teman dekatku sendiri.
Itulah
menjadi point penting mengapa aku tak pernah bisa dan tak pernah mau untuk
mengungkapkannya.
Saat
aku mencintainya, perlahan namun pasti perasaan takut dalam benakku muncul :
“apakah aku salah, mencintai seseorang. Mengaguminya
dari jauh, tapi orang yang aku cintai, orang yang aku kagumi ternyata adalah
teman baikku sendiri? Apakah aku harus selalu menunggu cinta yang semu ini?”
Hari
demi hari aku lewati tanpa ada teman atau sahabatpun yang tahu bahwa aku
menyukai Bimo, semakin dalam aku terkubur oleh masa lalu.
Tetapi,
dulu aku pernah bercerita dengan temanku tentang masalah ini. Aku bercerita
kepadanya sejujur-jujurnya bagaimana perasaanku terhadap Bimo.
Dan
hasilnya adalah, dia malah tidak mendukungku. Maksudku, respon yang dia beri
padaku diluar ekspetasiku. Ternyata, dia hanya mendengarkanku hanya ingin tahu
saja. Tak ada rasa peduli sedikitpun. Respon saja hanya :
‘ya’
‘oh’
‘terus’
‘yaudahlah,
emang kamu sama dia gak jodoh aja. Masih banyak cowo lain.’
‘move on aja’
Hanya itulah respon
yang aku dapatkan darinya. Sama sekali bukan solusi. Move on. Emang gak jodoh. Itu hanya kata-kata klise agar menutupi
kalimat bullshit dia. karena realitanya, dia tak pernah tahu seberapa dalamnya
perasaanku kepada Bimo.
Aku tak pernah butuh
kata-kata kiasan seperti itu. Yang hanya aku butuhkan saat ini adalah, aku
butuh solusi dan kepastian.
Aku butuh itu. Aku butuh
solusi untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Dimana aku tak
tersakiti kembali. Dan bisa
mendapatkan kepastian dari hubungan antara aku dengan Bimo. Apakah harus aku
yang mengalah dan menutup pintu hati ini untuk dia dengan alasan karena
mempertahankan pertemanan yang sudah lama kita jalin? atau mungkin, aku
mengungkapkannya tetapi akan merusak semua pertemanan kita. Karena yang aku
tahu, cinta merusak segalanya.
Cinta merusak
perasaan, cinta merusak pikiran, cinta juga merusak logika. Semua karena cinta.
Dulu temanku pernah
berbicara kepadaku :
“Yang
hanya aku tahu, cara terbaik untuk menghindari rasa kecewa adalah dengan tidak
mengharapkan apapun dan dari siapapun.”
Namun, aku sudah
diluar batas. Aku sudah tak bisa lagi menahan rasa ini.
Pernahkah kamu
mendengar tentang filosofi tentang spasi?
bahwa :
“Seindah
apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia
dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah
kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayangi bila ada ruang? Kasih
sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tidak ingin mencekik,
jadi ulurlah tali itu.”
Dan ya. Aku dengan
Bimo seperti tulisan dengan spasi, namun spasi yang kita miliki terlalu jauh
untuk memisahkan kami berdua. Terlalu mustahil untuk di gabungkan, karena nanti
akan tidak cocok bukan? Apakah ini memang takdirnya?
Ketika cinta tidak
harus memiliki, maka semestinya memiliki pun tidak harus cinta, kan? Mungkin ini
memang jalanku dengan jalannya. Mungkin, bila aku memaksakan ini semua akan
menjadi lebih rumit lagi dari yang kita berdua bayangkan. Dan bisa saja, ketika
kita berdua bersatu, aku dan dia bisa saling memiliki tetapi sudah tidak saling
mencintai lagi, karena aku sudah lelah setelah banyak drama yang telah kulewati
untuk bisa mendapatkan dia dan akhirnya berhasil.
Bukannya rasa bosan
itu datangnya diakhir, bukan?
Dan kamu juga pasti
pernah mendengar bahwa perempuan itu kodratnya dicintai. Sel sperma saja harus
berenang sekuat tenaga mati-matian sementara sel telur hanya diam saja. Kodratnya
lelaki memang seharusnya begitu.
If a man wants to be
with you, he’ll make every effort to be with you, no excuses. Men are simple,
you know.
Maka kalau begitu,
apakah aku harus mengungkapkannya? Apakah itu keputusan yang pantas untuk aku
ambil demi mendapatkannya? Apakah itu tidak menjadi sebuah masalah?
Dan saat inilah
puncaknya dimana aku sudah tidak tahan lagi dengan keadaan, maka aku pun ingin
sekali bercerita dengan sahabatku yang lain.
Tapi aku takut. Aku takut bisa dia juga sama-sama memberikan respon yang sama-sekali
tidak mengenakkan bagiku.
Saat aku sudah ingin
bercerita kepada sahabatku, tiba-tiba mulutku seketika seperti layaknya kertas
yang di tempelkan dengan lem. Tidak bisa bergerak. Tak bisa berucap sepatah
katapun, melontarkan nama Bimo saja sudah susah, bagaimana bisa aku
menceritakan semuanya, sejujurnya kepada sahabatku.
Saat aku hanya bisa
:
“Ishaaa, aku udah
gak tahan lagi. Sumpah.”
“kamu kenapa bege? Ih
sok gak jelas”
“aku udah gak kuat
lagi nahan ini semuanyaaa.”
“kamu kenapa. Cerita
yang jelas deh”
“aku suka sm orang
tapi ya.... udah setengah tahun aku suka sama dia. tapi anu. Anunya itu anu...”
“demi tuhan yang
jelas ah elah bege.”
“duh aku gak
kuattttt. Besok aku ceritain deh disekolah”
“udah disini chat
aja”
“besok ajaa. Aku udah
gak mood bahas masalah ini. Lagian aku takut salah curhat lagi sm orang tau
gaaak!”
“kamu aja yang salah kenapa curhat sm
anak yg gak bisa diandelin. kamu kadang jg harus mikir dan bisa milih
tempat curhat yg tepat dan cocok juga buat kamu.”
“tapi waktu ituuu aku udah enek banget tau gaksih! Udah bener-bener
sakit hati bangett. Dan masalahnya lagi, rasa ini beda dengan yang lain! Aku takut
dibilang lebay sm kalian semuaaaa!!!”
“kamu suka bikin cerita-cerita pendek gitukan. Cerpen aja
udah banyak dramanya. Kamu yang realitanya gak se-drama cerpen kenapa harus
takut dibilang lebay?”
“ya tapikan....... yaudahlah terserah...”
“kita tak terbiasa mengeluh dan menangisi diri. Kita terbiasa
jatuh tersungkur dan hancur lalu berdiri lagi. Inget itu fir”
Dan yap, hanya itulah ujung dari percakapanku dan
sahabatku via chat. Tapi, menurutku ada satu point yang aku dapat dari jawaban
sahabatku itu.
terkadang,
memendam adalah cara terbaik untuk bertahan dari mempertahankan.
If i loving him is
wrong, then i don’t wanna be right.
Sekarang aku baru tahu rasanya dimana kamu bisa selalu
deket sama dia, bisa selalu bareng-bareng sama dia, tapi kamu gak bisa memiliki
dia. dimana kamu selalu senyum kalo ada dia, bisa selalu senyum kalo dia
ngeliatin kamu, tapi senyumnya gak bisa kamu miliki. Itulah yang aku alami
sejak setengah tahun yang lalu.
Saat ini, mungkin akhir hubungan dan perasaanku
terhadapnya. We met at the wrong time. That’s what i keep telling myself
anyway. Maybe one day years form now, we’ll meet in a coffe shop in a far away
city somewhere and we could give it another shot.
Ya, mungkin kita akan bersatu pada suatu saat nanti. Tapi
pastinya, bukan saat yang sekarang. Aku ya dengan urusanku, dia ya dengan
urusannya yang mungkin lebih penting
dibandingkan diriku yang disisi lain mengharapkannya.
Detik ini, aku akan terus belajar
untuk melupakannya. Entah sampai kapan tahap ini berlangsung, setidaknya aku
telah berusaha sekuat tenagaku.
Sekarang aku tersadar, cinta yang
kutunggu tak kunjung datang. Apalah arti aku menunggu bila dia tak cinta
kepadaku.
Dahulu dia adalah segalanya. Dahulu hanya
dirinyalah yang ada dihatiku. Namun sekarang, aku mengerti. Tak perlu ku
menunggu sebuah cinta yang semu.
Aku selalu berpikir positif bahwa
ketika aku berusaha melupakan dia tapi gagal, aku juga harus berfikir. Bahwa dia
juga berusaha untuk mencintaiku. Tapi, gagal.
Tapi, bagaimana menurutmu? apakah aku bisa melewati fase-fase ini. ataukah aku akan kembali mencintainya seperti dulu?
Tapi, bagaimana menurutmu? apakah aku bisa melewati fase-fase ini. ataukah aku akan kembali mencintainya seperti dulu?
- The end -
Comments
Post a Comment